Kerja Saintifik
Dari perjalanan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hingga hari ini, muncul satu "gugatan" kritis soal penanganan Covid-19 di Indonesia.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono misalnya menuding wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak berdasar pada kajian saintifik yang mendalam ihwal tren kurva Covid-19 di Indonesia.
“Wacana itu tidak berdasar pada kajian saintifik sama sekali, jadi sekarang itu belum waktunya berbicara pelonggaran PSBB karena masyarakat masih melakukan pengetatan,” kata Pandu melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Jakarta, pada Rabu (13/5/2020).
Untuk kurva Covid-19 di Indonesia, Pandu menuturkan, belum menunjukkan tren melandai. Malahan, masih memiliki tren atau kecendrungan untuk naik.
“Kita sendiri sebenarnya untuk saat ini belum bisa menyimpulkannya,”ujarnya.
Dia menegaskan belum saatnya untuk melonggarkan PSBB ketika masyarakat tengah berusaha melakukan pengetatan terkait pelaksanaan PSBB dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Baca Juga
“Jika ngomong soal pelonggaran itu boleh saja direncanakan di dalam Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19. Itu bisa dipersiapkan tahapan pelonggarannya seperti apa saja,” kata dia.
Hanya saja, menurut Pandu, perdebatan ihwal pelonggaran PSBB di antara para pengambil keputusan tidak boleh dibuka ke publik.
“Akibatnya publik bingung karena saat ini kita masih dalam upaya pengetatan PSBB,” ujarnya.
Gugatan soal basis kerja Gugus Tugas juga sempat muncul di media social.
Warganet menyoroti latar belakang protokol komunikasi publik dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Salah satu akun twitter menuding protokol komunikasi publik yang dijalankan pemerintah tidak saintifik.
“Protokol Komunikasi pemerintah bikin mind set masyarakat keliru sehingga sense of crisis rakyat rendah,” cuit salah seorang warganet pemilik akun @firdzaradiany alias Beruang Kutub.
Dia menilai protokol komunikasi pandemi di Indonesia diarahkan untuk membuat rakyat tenang bukan aman dan sehat.
“Protokol komunikasi pandemi pemerintah; dilarang untuk menggunakan kata genting atau krisis. Tujuannya mengkatrol persepsi rakyat kepada pemerintah,” cuitnya.
Akun @firdzaradiany beropini bahwa strategi penanganan Covid-19 milik pemerintah Indonesia lebih difokuskan pada bidang psikologis, sebesar 80 persen, ketimbang pendekatan medis sebesar 20 persen.
Tanggapan Achmad Yurianto
Menanggapi cuitan Twitter, Jubir Percepatan Penanganan Covid-19 T Achmad Yurianto menyampaikan bahwa Gugus Tugas bertugas melayani masyarakat.
"Yang dibutuhkan adalah edukasi aman dari Covid dan bisa produktif," jelas Yuri.
Terkait tudingan Komunikasi Publik tidak saintifik, Yuri mempersilakan hal itu ditanyakan kepada Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Prof. Wiku.
"Kalau butuh yang saintifik silakan tanya ke Prof Wiku," ujar Yuri.
Selain menjadi Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Prof Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. tercatat sebagai Sekretaris MWA UI dan Guru Besar FKM UI.
Adapun tim pakar terdiri atas sejumlah pakar medis, pakar kesehatan masyarakat, pakar modelling, pakar teknologi alat kesehatan, pakar laboratorium diagnostik, pakar bidang hukum dan sosial, serta staf tim pakar.
Lantas, sudahkah penanganan Covid-19 dilakukan secara saintifik? Jika melihat susunan para pakar yang terdapat di dalam tim gugus tugas, agak janggal jika kerja tim tidak saintifik.
Presiden Jokowi pun secara langsung menegaskan bahwa kerja penanganan Covid-19 tidak lepas dari pendekatan sains.
Menurut Presiden, setiap data yang diambil pemerintah dalam penanganan Covid-19 berdasarkan data sains.
Namun, jika muncul persepsi bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia tidak saintifik, hal itu menjadi tantangan bagi Gugus Tugas untuk mengkomunikasikan secara jelas.