Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melengkapi berkas kasus suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA) tahun 2011 - 2016.
Untuk melengkapi berkas kasus, penyidik KPK mengagendakan pemeriksaan terhadap pemilik Bank Yudha Bhakti Tjandra Mindharta Gozali. Dia akan diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka eks Sekretaris MA Nurhadi.
"Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka NHD (Nurhadi)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Selasa (30/6/2020).
Tjandra yang juga pemegang saham PT Gozco Plantations Tbk. (GZCO) sempat dipanggil penyidik KPK sebagai saksi untuk tersangka Nurhadi pada Kamis (25/6/2020). Namun, dia mangkir dari panggilan tersebut.
KPK pun telah melayangkan ultimatum terhadap Tjandra Mindharta Gozali agar hadir memenuhi panggilan penyidik.
"Karena ada konsekuensi hukum apabila tidak hadir tanpa keterangan," tegas Ali.
Baca Juga
Selain Tjandra, penyidik KPK mengagendakan enam saksi lainnya untuk melengkapi berkas penyidikan Nurhadi. Keenam saksi tersebut adalah Sali (wiraswasta), Muhtar Sanusi (Ketua RW 003 Kel. Sukamanah, Kec. Megamendung, Bogor), Ayub (Ketua RT 003/RW 003 Kel. Sukamanah, Kec. Megamendung, Bogor), serta tiga tukang kebun, masing-masing bernama Mahmud, Ahmad Wahib, dan Rahmat.
Adapun, Nurhadi dan Rezky bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) pada 16 Desember 2019 telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung (MA) pada 2011 - 2016.
Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status DPO sejak Februari 2020. Untuk tersangka Hiendra saat ini masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun, penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.