Bisnis.com, Jakarta – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengabulkan permohonan perlindungan kepada 14 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang mengalami perbudakan modern di kapal penangkap ikan Longxing 629 berbendera China.
Keputusan diambil berdasarkan Rapat Paripurna Pimpinan (RPP) LPSK yang diselenggarakan pada 8 Juni 2020.
"Para korban mendapatkan layanan program Pemenuhan Hak Prosedural, berupa pendampingan pada saat memberikan keterangan dalam setiap proses peradilan pidana serta fasilitasi penilaian restitusi atau ganti rugi dari pelaku," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan pers yang diterima Selasa (16/6/2020).
Edwin mengatakan, LPSK telah memberi perhatian sejak kasus ini mencuat ke publik serta intens membangun komunikasi dengan Bareskrim Polri dan Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI. “Sejak awal LPSK menduga kasus ini terkait perdagangan orang," lanjut Edwin.
Edwin menjelaskan bahwa LPSK terlibat dalam proses penjemputan para ABK ini di bandara Soekarno-Hatta, serta melakukan pendalaman informasi kepada 14 korban ABK tersebut di tempat penampungan milik Kementerian Sosial di Jakarta.
“Seluruh korban langsung mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK setelah Bareskrim menetapkan tiga orang agen pengirim ABK sebagai tersangka TPPO” kata Edwin
Baca Juga
Dari para korban diperoleh keterangan bahwa mereka awalnya dijanjikan sebagai ABK kapal penangkapan ikan Korea Selatan, mendapatkan gaji dan bonus sesuai perjanjian kerja dan dipekerjakan secara legal. Namun pada praktiknya, besaran gaji dan bonus yang mereka terima tidak sesuai. Para ABK pun mendapatkan perlakuan buruk, bekerja melampaui batas waktu, mendapat fasilitas medis yang tak optimal, hingga konsumsi makanan dan minuman yang tidak layak. Edwin mengatakan perlakuan yang diperoleh para ABK WNI pun berbeda dengan ABK lainnya di kapal tersebut.
14 ABK ini masing-masing berasal dari Bekasi (dua), Brebes (satu), Tegal (satu), Bintan dan Natuna (tiga), Minahasa (dua), Barru (tiga), Halmahera (satu), dan Masohi (satu orang).
Sebanyak 12 ABK di antaranya lulusan SMA atau sederajat, satu orang lulusan SMP dan satu orang lulusan SD. Usia mereka berkisar 20-22 tahun, sementara tiga lainnya masing-masing berusia usia 28, 30 dan 35 tahun. Mereka rata-rata dijanjikan gaji sebesar US$300 per bulan, dan hanya 2 ABK yang dijanjikan gaji lebih tinggi yaitu sebesar US$400 dan US$450 per bulan.
Ke-14 ABK ini sebelumnya adalah satu rombongan dari 22 ABK WNI yang bersama-sama menjadi ABK Kapal Longxing 629. Namun, 2 ABK dipindahkan ke kapal Longxing 630, dan 1 ABK meninggal di Kapal Longxing 629.
Setelah itu 19 ABK meminta untuk dipulangkan, kemudian dipindahkan ke Kapal Longxing 802 yang menuju ke Samoa. Dalam perjalanan tersebut, satu ABK meninggal, kemudian 16 ABK dipindahkan ke Kapal Tian Yu 82 yang menuju Busan, sedangkan 2 ABK tetap melanjutkan perjalan menuju Samoa.
Dalam perjalan menuju ke Busan satu ABK meninggal dunia karena sakit. Sesampainya di Busan, 15 ABK menjalani karantina dan satu di antaranya meninggal karena sakit.
Menurut Edwin, kasus ABK Kapal Longxing 629 ini menambah daftar korban TPPO yang mendapatkan perlindungan LPSK.
"Dalam rentang waktu Januari – 8 Juni 2020, sebanyak 45 orang terlindung LPSK korban TPPO yang berprofesi sebagai pekerja hiburan, buruh migran dan pekerja seks komersial, 28 orang di antaranya berprofesi sebagai ABK," kata Edwin.