Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri memfasilitasi repatriasi dua anak buah kapal (ABK) WNI yang bekerja di kapal ikan China Tian Yu 8. Hal ini diikuti dengan proses investigasi yang terus berlangsung.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan pihaknya telah merepatriasi kedua ABK pada 9 Juni 2020 ke Jakarta. Keduanya telah menjalani PCR test yang valid dan telah mendapat surat kesehatan dari kemenkes di bandara Soekarno Hatta.
"Ini artinya, 46 ABK dari Dalian Ocean Fishing Company telah direpatriasi ke Indonesia," katanya, pada saat konferensi pers, Kamis (11/6/2020).
Sebelum dua ABK WNI ini, sudah ada 14 ABK WNI yang bekerja di kapal Long Xing 629 yang sudah dipulangkan ke Tanah Air.
Sementara itu, terkait proses hukum, Retno mengungkapkan bahwa Bareskrim, termasuk Kejaksaan Agung tengah melakukan investigasi untuk menyelesaikan kasus dugaan perilaku tidak layak yang menimpa ABK WNI Long Xing 629.
Pemerintah Indonesia menaruh perhatian besar kepada pemerintah China terkait dengan berulangnya kasus ABK WNI di kapal China.
Baca Juga
"Indonesia tengah menanti hasil investigasi yang adil dan transparan dari otoritas China," tegasnya.
"Dari percakapan saya dari sejumlah nelayan dari kapal yang berbeda, mereka menceritakan cerita yang sama kepada saya terkait perlakuan tidak layak di kapal," lanjutnya.
Saat ini Polri telah menangkap tiga tersangka yang diduga terlibat dalam pengiriman nelayan Indonesia ke kapal ikan China. Mereka dijerat pasal perdagangan manusia, seperti yang diatur dalam UU No.21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Retno berkomitmen untuk terus mengikuti perkembangan kasus ini dengan melakukan komunikasi intensif dengan Dubes China di Jakarta, begitu pula komunikasi antara Dubes RI di Beijing dengan Kemenlu China.
Seperti diberitakan sebelumnya, terdapat empat ABK WNI yang bekerja di kapal Long Xing 629 yang meninggal. Tiga orang di antaranya meninggal di atas kapal sehingga jenazahnya dilarung di laut lepas. Adapun satu orang meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan.
Kejadian ini menimbulkan kecurigaan dari pihak pemerintah Indonesia terkait dengan kehidupan di atas kapal yang tidak layak hingga menyebabkan kematian ABK WNI.
Tidak hanya jam kerja yang tidak manusiawi (18 jam sehari), mereka juga tidak mendapatkan upah seperti yang dijanjikan dalam kontrak kerja. Hal ini berdasarkan penuturan 14 ABK WNI yang sempat ditemui oleh Retno.