Bisnis.com, JAKARTA - Selama dua dekade terakhir, Inggris berupaya membangun hubungan dagang yang hangat dengan China. Namun belakangan, upaya tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Hal itu dipicu oleh kekhawatiran tentang hak asasi manusia, perlakuan Hong Kong dan hubungan Beijing dengan Huawei Technologies Co. yang belakangan menyeruak. Selain itu, pandemi virus Corona menambah renggang hubungan kedua negara.
Sebelumnya, para pemimpin kedua negara telah saling mengunjungi, termasuk lawatan Presiden Xi Jinping pada 2015 yang disambut dengan meriah dan megah di Inggris.
Pada 2015, Perdana Menteri David Cameron bertandang ke China dan bertemu Xi Jinping untuk menandai era emas dalam hubungan kedua negara. Cameron mengatakan Inggris akan menarik investasi dari China. Sebaliknya, China akan menikmati akses ke anggota terkemuka Uni Eropa itu.
Kenyataannya tidak demikian. Bukan hanya karena Inggris telah meninggalkan Uni Eropa. Di jajaran Partai Konservatif yang memerintah, ada peningkatan penolakan terhadap China. Alih-alih membuka diri untuk investasi, Inggris kini justru berbalik melindungi perusahaan-perusahaan penting dari pengambilalihan oleh China.
Sebelumnya, Inggris juga menerima adopsi teknologi dari China, yang memungkinkan Huawei untuk memasok peralatan untuk infrastruktur 5G. Kini negara itu sedang mencari pemasok alternatif.
Baca Juga
"Sebagai negara, kita terlalu lama merasa puas dengan ancaman dari China. Ada kesadaran yang tumbuh bahwa China yang ingin kita lihat bukanlah China yang telah muncul," kata Bob Seely, seorang anggota parlemen Konservatif yang duduk di Komite Urusan Luar Negeri parlemen, dilansir Bloomberg, Kamis (11/6/2020).
Pemerintah Inggris juga tengah menggodok RUU Keamanan dan Investasi Nasional. Sekretaris Bisnis Alok Sharma menyebut RUU ini akan berupaya untuk memperbaiki peraturan tentang investasi asing untuk melindungi aset penting.
Setelah krisis memukul pasokan peralatan pelindung untuk petugas kesehatan, serta barang-barang pokok lainnya, pemerintah mengklaim sedang berusaha membangun rantai pasokan yang tangguh. Secara khusus, pemerintah juga telah membuka pembicaraan dengan pemasok teknologi alternatif untuk menggantikan Huawei.
Krisis akibat pandemi juga telah menyoroti bahaya berurusan dengan negara dengan tingkat kerahasiaan tinggi dan ketergantungan hubungan dagang kepada satu pihak. Pandemi virus Corona telah merusak perekonomian Inggris dan negara itu belum menyetujui hubungan perdagangan baru dengan UE untuk menggantikan hubungan yang berakhir pada 31 Desember 2020.
Peristiwa baru-baru ini di Hong Kong memaksa pemerintah Inggris untuk memihak, dan melakukan apa yang paling tidak disukai diplomat, yakni menyatakan kritik di depan publik.
Menteri Luar Negeri Dominic Raab menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap rencana China untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong. Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan kepada Raab bahwa negaranya hanya mempertahankan keamanan nasionalnya.
"Inggris harus memimpin di Hong Kong karena tidak ada negara lain yang bisa; kami adalah negara yang paling terlibat," kata Chris Bryant, anggota Komite Urusan Luar Negeri parlemen. Dia menambahkan Perdana Menteri Boris Johnson berada di bawah tekanan dari seorang pemimpin oposisi yang kredibel membuat argumen untuk hak asasi manusia.
"Ketika kita memiliki kekhawatiran tentang asal-usul Covid-19, atau infrastruktur nasional kita yang kritis atau apa yang terjadi di Hong Kong, kita harus merasa bebas untuk mengangkat masalah-masalah itu dan itulah yang kita rencanakan untuk dilakukan," kata Johnson.
Sementara itu, administrasi Donald Trump telah secara terbuka memusuhi pendekatan hangatnya terhadap China, yang membuat Inggris terjepit diantaranya dua kekuatan besar. Dampaknya, Inggris berencana melakukan diversifikasi dagang dan menjauh dari China.