Bisnis.com, JAKARTA - Momen kejatuhan Presiden Soeharto pada penghujung Mei 1998 diwarnai dengan reformasi total yang dilakukan penggantinya, Bacharuddin Jusuf Habibie. Salah hal yang dilakukan Habibie untuk menetralisir gejolak kala itu adalah melakukan pembebasan sejumlah aktivis yang sebelumnya ditahan karena tuduhan makar.
25 Mei 1998, tepat hari ini 22 tahun lalu, langkah itu dimulai Habibie dengan membebaskan dua orang, Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan.
"Amnesti dan abolisi diberikan kepada Muchtar pakpahan yang sekarang di tahan di LP Cipinang serta Sri Bintang Pamungkas. Keputusan pembebasan itu disetujui secara aklamasi dalam sidang kabinet," ujar Muladi yang kala itu menjabat Menteri Kehakiman seperti diwartakan Harian Bisnis Indonesia edisi 26 Mei 1998.
Muladi, lebih lanjut, menyebut amnesti dan abolisi tersebut diberikan kabinet Habibie atas beberapa pertimbangan. Misalnya adalah fakta bahwa keduanya merupakan Tahanan Politik (Tapol) kategori pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga dianggap memperjuangkan kebebasan berpendapat.
Sri Bintang Pamungkas sebagai tokoh pergerakan, reformis, politikus, aktivis, dan juga orator di masa penggulingan Soeharto. Ia ditahan Soeharto lantaran dianggap subversif dan melanggar Undang-undang Anti Subversif dengan membentuk Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) pada Mei 1996. Bintang dibui sejak Mei 1997, saat itu usianya 51 tahun.
Sedangkan nama kedua, Muchtar Pakpahan, dijebloskan ke penjara karena rangkaian disertasi dan buku tulisannya berjudul "Potret Negara Indonesia." Buku tersebut mendorong gagasan reformasi untuk mengatasi berbagai masalah di Indonesia, yang dianggap Soeharto melanggar Undang-Undang.
Baca Juga
Bebasnya Sri Bintang dan Muchtar sesungguhnya hanyalah awal. Seiring berjalannya waktu, nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko dan Xanana Gusmao juga dibebaskan oleh pemerintahan Habibie.
Kendati demikian, saat mengumumkan pembebasan keduanya, Muladi menyebut keringanan serupa tidak diberikan untuk tahanan yang terlibat dalam gerakan komunisme dan marxisme. Sebab, kabinet saat itu menilai tahanan golongan ini bersalah karena 'mengancam' keberlangsungan Pancasila dan UUD 1945.