Bisnis.com, JAKARTA – Beban utang Italia berisiko menjadi tidak terkendali dan peningkatan dalam biaya pinjaman menunjukkan bahwa investor semakin gelisah.
Ekonomi Italia, episentrum pandemi virus Corona (Covid-19) di Eropa, telah terdampak serius langkah lockdown yang diberlakukan selama hampir dua bulan guna menahan persebaran virus Corona.
Komisi Eropa memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara beribu kota Roma tersebut akan minus 9,5 persen pada 2020 (yoy), sedangkan Bloomberg Economics memperkirakan kontraksi sebesar 13 persen.
Jika dampaknya bertahan lama, pertumbuhan yang rendah dikombinasikan dengan pengeluaran pemerintah dapat mendorong utang yang sudah membengkak hingga melampaui 150 persen dari PDB, demikian menurut riset Bloomberg Economics.
Hal ini akan memperkuat pandangan bahwa Italia membutuhkan lebih banyak bantuan fiskal dari Uni Eropa atau bahkan mengangkat masalah restrukturisasi.
“Kinerja ekonomi Italia yang suram, yang akan semakin memburuk ketika para pemimpin negara berjuang untuk mengatasi dampak dari virus corona, membuat kemampuan negara itu untuk melunasi utangnya diragukan,” ujar David Powell, ekonom senior Bloomberg Economics, Senin (18/5/2020).
Baca Juga
Pemerintah Italia baru-baru ini meloloskan program stimulus senilai 55 miliar euro (US$60 miliar) untuk mencoba menopang perekonomian, menyusul rencana awal senilai 25 miliar euro pada Maret.
Meski Bank Sentral Eropa (ECB) telah membeli obligasi melalui program daruratnya (Pandemic Emergency Purchase Program) untuk membantu mengurangi spread, imbal hasil sovereign bond 10 tahun Italia masih perlahan meningkat menjadi sekitar 1,8 persen dari 0,9 persen pada pertengahan Februari.
“Program ECB hanya akan berjalan sejauh ini. Para pemimpin Uni Eropa harus memutuskan apakah mereka ingin menanggung bailout atau membiarkan Italia bangkrut,” lanjut Powell.
“Jika mereka memilih yang terakhir, restrukturisasi utang mungkin tidak bisa dihindari untuk Italia," tandasnya.