Bisnis.com, JAKARTA - Pembahasan RUU Pemasyarakatan di tengah kondisi pandemi virus corona (Covid-19) dinilai tidak tepat. Para anggota DPR juga dinilai tidak memahami isi dan tujuan dari rancangan peraturan ini.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, seharusnya DPR membahas isu-isu terkait masalah kesehatan. Mereka juga perlu mengeluarkan produk legislasi yang berkaitan dengan kondisi pandemi saat ini.
"Selain itu, RUU ini terlihat lebih banyak problemnya dibandingkan solusi-solusi jelas untuk mengatasi permasalahan pemasyarakatan dan korupsi di Indonesia. Kami melihat peraturan ini lebih menguntungkan koruptor," katanya dalam diskusi virtual, Minggu (17/5/2020).
Selain itu, dia juga membahas RUU Pemasyarakatan yang akan menghapus detail Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/ 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP tersebut dinilai sudah progresif dalam membatasi atau memberikan syarat-syarat khusus bagi narapidana, termasuk napi kasus korupsi.
Selain itu, ia juga mempermasalahkan Komisi III DPR yang terlihat tidak mengetahui isi rancangan peraturan tersebut. Kurnia mencontohkan, anggota panitia kerja (Panja) DPR RUU Pemasyarakatan Muslim Ayub menyebut hak cuti bersyarat narapidana dibolehkan untuk bepergian ke tempat seperti pusat perbelanjaan namun dengan syarat-syarat tertentu.
"Tetapi, pernyataan ini dibantah oleh Pak Arsul Sani dari Fraksi PPP yang mengatakan hal ini (cuti bersyarat) bukan berarti bisa berpelesiran. Ini memperlihatkan amggota Komisi III DPR tidak memahami substansi dari RUU ini," pungkasnya.
RUU ini juga dinilai bakal melenggangkan jalan untuk napi kasus korupsi dengan mendapat kanberagam keringanan.
Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2015- 2019 Laode M Syarif mengatakan RUU Pemasyarakatan yang saat ini beredar memiliki banyak kekurangan. Salah satunya adalah upaya memudahkan narapidana kejahatan luar biasa seperti korupsi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.
Dia mengatakan, apabila RUU tersebut lolos menjadi Undang-Undang, maka akan menghapus Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/2012. Padahal, pada PP tersebut memuat persyaratan khusus untuk pengurangan hukuman bagi tindak pidana khusus seperti tindakan korupsi.
Pasal 43 A PP No. 99/2012 telah mengatur syarat bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau justice collaborator. Kemudian, Pasal 43 B Ayat (3) menyatakan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat perlu dipenuhi narapidana.
“Kemudahan tersebut seperti melayani koruptor. Seakan-akan pemerintah memiliki kepentingan tertentu untuk merevisi UU Pemasyarakatan,” katanya dalam sebuah diskusi virtual, Minggu (17/5/2020).