Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding Undang-Undang No. 19/2019 tentang KPK mempersulit kinerja Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) dalam pengusutan kasus komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Aktivis ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan anggapan banyak pihak yang menyebut tangkap tangan Wahyu Setiawan membuktikan bahwa pimpinan KPK dan UU baru tidak relevan lagi untuk dipersoalkan.
"Padahal faktanya justru sebaliknya, UU KPK baru terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," ujar Kurnia dalam keterangannya, Minggu (12/1/2020).
Kurnia mengatakan ada dua kejadian penting yang harus mesti dicermati dalam peristiwa OTT tersebut. Pertama, KPK dinilai terbukti lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor DPP PDI Perjuangan pada Kamis (9/1/2020).
Menurut Kurnia, hal ini disebabkan Pasal 37 B ayat (1) di UU baru KPK hasil revisi yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan harus atas seizin Dewan Pengawas KPK.
Sebaliknya, dalam UU KPK sebelum revisi yaitu UU No. 30/2002 untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak manapun.
"Logika sederhana saja sebenarnya, bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas?," tutur dia.
Belum lagi, lanjut dia, persoalan waktu dalam proses administrasi dari izin Dewas KPK. Waktu yang lama itu disebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti.
Kedua, kejadian penting lainnya terjadi saat tim penyelidik KPK diduga dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut. Dia menegaskan bahwa upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU tentang tindak pidana korupsi.
"Dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata," katanya.
Sebab, kata Kurnia, berlakunya UU baru KPK justru terbukti menyulitkan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah Komisioner KPU Wahyu Setiawan, mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang juga orang kepercayaan Wahyu; kader PDIP Harun Masiku; dan Saeful Bahri selaku swasta.
Penetapan tersangka menyusul operasi tangkap tangan KPK di Jakarta, Depok, dan Banyumas dengan mengamankan delapan orang dan uang Rp400 juta dalam valuta Sin$ pada Rabu dan Kamis 8 - 9 Januari 2020.
KPK menduga Wahyu Setiawan melalui Agustiani yang juga orang kepercayannya menerima suap guna memuluskan caleg PDIP Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme pengganti antar waktu (PAW) untuk mengganti posisi Nazarudin Kiemas yang wafat pada Maret 2019.
Namun, dalam rapat pleno KPU memutuskan bahwa pengganti almarhum Nazarudin adalah caleg lain atas nama Riezky Aprilia. Terdapat usaha agar Wahyu tetap mengusahakan nama Harun sebagai penggantinya.
Awalnya, Wahyu meminta Rp900 juta untuk dana operasional dalam membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu tersebut. Dari serangkaian uang yang dialirkan, diduga Wahyu telah menerima Rp600 juta baik langsung maupun melalui Agustiani.
Adapun sumber uang Rp400 juta dari tangan Agustiani yang diduga ditujukan untuk Wahyu masih didalami KPK. Diduga dana itu dialirkan pengurus partai PDIP.
Wahyu kini resmi ditahan di rutan Pomdam Jaya Guntur usai menjalani pemeriksaan intensif dalam waktu 1x24 jam.
Sementara tersangka lain, Agustiani Tio Fridelina ditahan di rutan K4 yang berada tepat di belakang Gedung Merah Putih KPK.
Adapun tersangka Saeful selaku terduga pemberi suap ditahan di rutan gedung KPK lama Kavling C1, sedangkan kader PDIP Harun Masiku masih buron.
Wahyu Setiawan dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Harun Masiku dan Saeful disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.