Bisnis.com, JAKARTA – Dugaan terjadinya praktik kartel dapat dilihat dari beberapa indikasi namun semua itu memerlukan investigasi guna mencari bukti terjadinya pelanggaran tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh ahli Maman Setyawan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Dia dihadirkan oleh investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dalam persidangan Selasa (7/1/2019).
Di hadapan Majelis Komisi yang terdiri dari Kurnia Toha, Yuddy Hidayat dan Kodrat Wibowo, ahli menjelaskan bahwa indikasi terjadinya praktik kartel dalam suatu pasar dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, tuturnya, adalah kebijakan pelaku usaha berupa harga yang tiba-tiba melonjak tajam dalam waktu yang bersamaan.
Aspek lainnya, tuturnya dari interaksi antarpelaku pasar tersebut. Jika hubungan antarpelaku usaha kian mesra dan kuat, maka hal itu menjadi tanda bagi penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Adapun aspek yang ketiga yakni dengan melakukan analisis harga dari produk para pelaku usaha untuk menilai apakah peningkatan harga tersebut dipengaruhi oleh struktur biaya. Jika terindikasi kenaikan harga tidak terkait dengan struktur biaya, maka penegak hukum dapat melakukan investigasi lebih lanjut.
Dia menilai dalam suatu industri yang tarifnya diatur oleh Pemerintah, persaingan usaha masih memungkinkan untuk terjadi. Hal ini dapat dilihat dari aneka tarif yang ditawarkan oleh para pelaku usaha dalam pasar tersebut kepada konsumen.
Baca Juga
“Logika ekonominya, jika kompetitor menaikkan tarif, pelaku usaha lain tidak akan menyamakan tarifnya karena terancam kehilangan konsumen. Justru kalau harganya lebih bersaing, marketnya akan semakin besar,” tuturnya.
Menurutnya, dalam melakukan investigasi, penegak hukum perlu melakukan riset pembanding antara pelaku usaha yang terindikasi melakukan kartel dengan pelaku usaha lain yang tidak terindikasi melakukan kartel, pada pasar bersangkutan.
Metode Perbandingan Dipertanyakan
Kuasa hukum PT Garuda Indonesia dan PT Citilink Indonesia selaku terlapor 1 dan 2 mempertanyakan metode perbandingan tersebut karena aktivitas usaha para pelaku pasar tidak sama persis. Dia mencontohkan, suatu maskapai A memiliki 100 rute penerbangan dan melakukan pembatalan pada rute-rute sepi, tidak bisa disandingkan dengan maskapai kompetitor yang hanya memiliki separuh dari rute penerbangan maskapai A.
“Belum lagi kalau kita lihat jenis pesawat apakah propeller atau jet, jenis rute terbang ke mana dan sebagainya,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, dalam persidangan, Investigator KPPU menyatakan para terlapor disinyalir sengaja melakukan pengurangan frekuensi dan perubahan penerbangan. Menurut investigator Arnold Sihombing, pembatalan rencana penerbangan mengalami peningkatan yang signifikan dari masing-masing maskapai sebelum dan setelah November 2018, kecuali untuk maskapai Trans Nusa dan Air Asia.
Selain itu, lanjutnya, para terlapor juga diketahui melakukan pengurangan sub class atau tiket harga rendah. Hal ini menurutnya menjadi bukti adanya fakta bahwa terjadi perilaku yang sama atau perbuatan yang paralel dilakukan oleh para terlapor untuk tidak membuka tiket subclass sehingga konsumen tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan tiket dengan harga yang lebih murah.
Selain mengurangi subclass, investigator juga menyinggung soal kenaikan harga tiket yang terjadi setelah November 2018 yang dinilai tidak rasional lantaran harga avtur justru menunjukkan penurunan sejak November 2018 bila dibandingkan dengan harga sebelum November.
Dia melanjutkan, apabila harga tiket rata-rata maskapai tersebut dibandingkan dengan tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan pemerintah, diperoleh rasio bahwa setelah November 2018, rasio harga tiket maskapai terhadap TBA lebih tinggi dibandingkan sebelum November. Hal itu, katanya, menunjukkan bahwa harga tiket dari maskapai untuk rute yang dianalisis bergerak bersamaan mendekati TBA.
Investigator menilai pola pergerakan harga tiket masing-masing terlapor menunjukkan harga tiket memiliki pola harga yang sama di setiap bulan, sedangkan Air Asia, memiliki pola yang berbeda . Tidak hanya itu, pada low season, Januari hingga April, beberapa terlapor cenderung tidak menurunkan atau menstabilkan harga tiket.
Peningkatan harga tiket yang seragam tersebut dinilai oleh para investigator, memperkuat kolusi beberapa maskapai yang memiliki pergerakan harga yang sama.
Dari berbagai pemaparan tersebut, investigator menilai bahwa bentuk kesepakatan penetapan harga dan kartel adalah pertama para terlapor melakukan pengurangan atau peniadaan tiket subclass rendah.
Kedua, kerja sama manajemen Citilink Indonesia dengan Sriwijaya Group sehingga secara langsung dan tidak langsung operasional Sriwijaya Group berada di bawah kendali Garuda Indonesia Group.
Ketiga, para terlapor melakukan tindakan bersama-sama mengurangi jumlah penerbangan dengan melakukan pembatalan jadwal penerbangan.