Kabar24.com, JAKARTA — Perubahan tata cara eksekusi objek jaminan fidusia pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perlu direspons dengan pengaturan mekanisme peradilan cepat agar memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Melalui Putusan No. 18/PUU-XVII/2019, MK mengubah mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia sepanjang tidak diberikan secara sukarela oleh debitur. Bila UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia awalnya membolehkan kreditur mengeksekusi sendiri, per 6 Januari 2020 kreditur mesti mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri (PN).
Veri Junaidi, kuasa hukum para pemohon uji materi UU 42/1999, menuturkan bahwa putusan MK telah meneguhkan perlindungan kepada kreditur sekaligus debitur. Meski demikian, dia berpendapat pengambil kebijakan hendaknya melakukan penataan kebijakan lanjutan.
Salah satu konsekuensi putusan MK adalah kewajiban kreditur untuk mengajukan permohonan eksekusi terlebih dahulu kepada PN. Menurut dia, perlu dibangun mekanisme komplain dengan proses peradilan yang sederhana dan cepat.
“Dengan begitu baik kreditur maupun debitur mendapatkan kepastian hukum,” katanya ketika dimintai tanggapan usai sidang putusan, Senin (6/1/2020).
Putusan MK tidak memberikan batasan nilai objek jaminan fidusia yang dapat disengketakan di PN. Dengan demikian, berapa pun nilai objek jaminan fidusia mesti mendapatkan putusan hingga berkekuatan hukum tetap agar dapat disita.
Baca Juga
Veri mengusulkan agar tidak semua sengketa kreditur-debitur mesti berujung hingga upaya hukum terakhir. Untuk nilai objek jaminan fidusia yang kecil cukup sampai pengadilan tingkat pertama, sedangkan pengadilan banding buat nilai yang lebih besar.
“Nah, mekanisme ini yang bisa leluasa diatur. Yang penting eksekusi melalui mekanisme peradilan,” tuturnya.
Dua klien Veri, pasangan suami-isti Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo, merupakan pemohon uji materi UU 42/1999. Apriliani sebagai pemberi fidusia mengalami kerugian langsung akibat penarikan mobil yang dilakukan oleh kreditur secara sewenang-wenang meski telah aktif membayar cicilan.
Veri meyakini putusan MK pasti berdampak kepada pelaku usaha pembiayaan yang menjadi pihak kreditur dalam sertifikat jaminan fidusia. Adapun, bisnis otomotif turut terdampak karena industri itu paling banyak memakai skema jaminan fidusia.
“Karena itu, penting untuk meresponsnya, khususnya mendorong kebijakan ke depan,” tuturnya.
Fidusia, menurut UU 42/1999, adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pemilik benda atau objek bertindak sebagai pemberi fidusia (debitur), sementara penerima fidusia (kreditur) adalah pihak yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Sertifikat jaminan fidusia—yang berisi identitas pemberi dan penerima fidusia, uraian benda, nilai penjaminan, hingga nilai benda—mencantumkan kalimat ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seperti bunyi putusan pengadilan.
Awalnya, Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang Fidusia mengatur bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 menyatakan penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri apabila debitor cedera janji.
Namun, MK merombak Pasal 15 ayat (2) dengan memberikan penafsiran baru pada frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’ sehingga kreditur tidak otomatis mengeksekusi sendiri objek jaminan fidusia.
MK menafsirkan ulang pula frasa ‘cedera janji’ dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 sehingga alasan untuk mengeksekusi itu tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditor.
“Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.