Bisnis.com, JAKARTA – Masa-masa tersuram dari aksi protes pro-demokrasi di Hong Kong dipandang kemungkinan telah berakhir menjelang liburan Natal.
Menurut Bernard Chan, penasihat Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, masa terburuk aksi protes yang telah memukul kota tersebut untuk saat ini kemungkinan berakhir pascapemilihan umum yang digelar pada November lalu dan menjelang Natal.
Meski sesekali masih akan ada aksi protes berskala lebih kecil, konfrontasi berskala besar antara demonstran radikal dan polisi anti huru hara mungkin telah berakhir.
“Saya sebenarnya berpikir yang terburuk mungkin sudah berakhir,” ujar Chan dalam sebuah wawancara, seperti dilansir melalui Bloomberg (Jumat, 20/12/2019).
“Tapi saya rasa tidak semua jenis protes sporadis akan berkesudahan. Saya tidak berpikir ini akan segera berakhir. Mungkin perlu beberapa saat. Tapi saya pikir, skala [protes] yang lebih besar, semoga saja, kita tak melihatnya lagi. Tapi siapa yang tahu,” tambah Chan.
Pada saat yang sama, Chan menegaskan bahwa pemerintahan Lam masih belum bersedia untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tambahan para demonstran, termasuk seruan membentuk komisi independen untuk menyelidiki kerusuhan.
Aksi protes berskala besar-besaran yang dimulai pada Juni 2019 telah membuat investor berada di ujung tanduk, memukul sekaligus melumpuhkan industri-industri lokal mulai dari pariwisata hingga ritel.
Berangkat dari penolakan atas rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi ke China daratan, aksi protes warga Hong Kong telah meluas untuk menuntut demokrasi lebih besar di wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah China ini.
Meski tampak mereda, aksi protes telah sangat membebani ekonomi Hong Kong sekaligus membawanya terjun ke dalam jurang resesi.
Sektor pariwisata dan ritel khususnya telah terpukul karena anjloknya kunjungan wisatawan dan dan banyak penduduk lokal memilih enggan meninggalkan kediaman mereka.
Dalam beberapa bulan terakhir, pengunjuk rasa telah melemparkan bom bensin dan menembakkan panah kepada pihak kepolisian. Tindak demonstran ini direspons dengan penangkapan lebih dari 6.000 pengunjuk rasa, hujan gas air mata, serta tembakan peluru karet dan meriam air.
Namun, setelah politisi pro-demokrasi memenangkan kemenangan besar-besaran atas kubu pro-pemerintah dalam pemilu lokal pada 24 November, tampak jeda dalam aksi protes maupun frekuensi kekerasan berskala besar.
“Dengan hasil pemilihan dewan distrik, mungkin sebagian orang menjadi lebih rela untuk mengatakan 'Mari kita lihat apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengubah keadaan’,” lanjut Chan.
“Mungkin mereka berharap anggota-anggota yang baru terpilih ini bisa melakukan tugas mereka daripada ikut turun ke jalanan,” ungkapnya.
Namun, berbeda dengan komentar Chan, prediksi oposisi pro-demokrasi di kota itu, menunjukkan bahwa pergerakan massa masih akan memperlihatkan kekuatan dan melanjutkan aksi protes mereka pada tahun baru.
Aksi protes memuncak pada 8 Desember 2019, ketika ratusan ribu demonstran membanjiri jalan-jalan utama di pusat kota dan meneriakkan tuntutan-tuntutan mereka.
Mereka bersumpah untuk terus memperjuangkan demokrasi di wilayah itu hingga tahun 2020, ketika Hong Kong dijadwalkan mengadakan pemilihan umum untuk Dewan Legislatif.
“Demonstrasi pada Minggu menunjukkan bahwa pemerintah akan 'bermimpi' jika mereka percaya protes ini akan mereda pada awal tahun depan, terutama dengan liburan Natal dan Tahun Baru China yang akan datang,” ujar Alvin Yeung, seorang anggota parlemen yang pro-demokrasi.
“Warga masih sangat ingin berjuang untuk apa yang telah mereka perjuangkan," tambahnya.