Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan mempelajari grasi atau potongan masa hukuman terpidana kasus korupsi alih fungsi hutan di Provinsi Riau, Annas Maamun dari Presiden Joko Widodo.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku pada sore tadi pihaknya telah menerima surat dari Lapas Sukamiskin tempat di mana Annas mendekam selama di penjara.
Menurut Febri surat tersebut pada pokoknya meminta KPK melakukan eksekusi dan melaksanakan Keppres No. 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019 tentang Pemberian Grasi terhadap Annas Maamun.
Febri menyatakan bahwa pihaknya menghargai kewenangan Presiden Jokowi memberikan pengampunan atau grasi terhadap Annas tersebut. Namun, pihaknya tetap akan mempelajari perihal pemberian grasi itu.
"KPK akan mempelajari surat yang dikirim oleh Lapas Sukamiskin tersebut," kata dia, Selasa (26/11/2019).
Dia menekankan bahwa penanganan perkara mantan Gubernur Riau itu dinilai telah melewati proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
KPK mencatat waktu yang dibutuhkan yaitu sejak operasi tangkap yangan (OTT) pada 25 September 2014 hingga putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap di Mahmakah Agung pada 4 Februari 2016.
"Kami cukup kaget ketika mendengar informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK," ujar Febri.
Dia juga menekankan bahwa kasus korupsi yang dilakukan Annas adalah terkait dengan sektor kehutanan, yaitu suap untuk perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit.
Dalam perkara itu, kata dia, Annas selaku Gubernur Riau periode 2014-2019 didakwa secara kumulatif.
Dakwaan kesatu, dia menerima suap US$166.100 dari Gulat Medali Emas Manurung yang saat itu selaku Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau dan dari Direktur Utama PT Citra Hokiana, Edison Marudut Marsadauli Siahaan.
Hal itu terkait kepentingan memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektare di tiga Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Annas juga didakwa menerima suap Rp500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison di lingkungan Provinsi Riau.
Ketiga, Annas juga menerima suap Rp3miliar dari janji Rp8 miliar dalam bentuk mata uang dolar Singapura dari beneficial owner Darmex Agro dan Duta Palma Group, Surya Darmadi.
Menurut Febri, uang itu diberikan melalui Legal Manager PT Duta PaIma Group Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.
Pada perkembangan kasus ini, KPK juga telah menetapkan Surya Darmadi; korporasi PT Palma Satu; dan Suheri Terta sebagai tersangka.
"Perlu kita pahami, korupsi yang terjadi di sektor Kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat," kata Febri.
Sebelumnya, usia renta dan masalah kesehatan menjadi alasan permohonan grasi dari Annas ke Presiden Jokowi.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto mengatakan Annas mengajukan grasi dengan alasan kepentingan kemanusiaan.
Menurut Ade, grasi dapat diberikan berdasarkan Permenkumham No. 49 Tahun 2019 tentang Tata Cara Permohonan Grasi. Dalam peraturan itu, pertimbangan pemberian grasi salah satunya adalah usia terpidana sudah di atas 70 tahun.
"Pertimbanganya adalah berusia di atas 70 tahun. Saat ini, yang bersangkutan usia 78 tahun dan menderita sakit berkepanjangan," ujar Ade, Selasa (26/11/2019).
Ade juga menjelaskan alasan yang disampaikan Annas dalam surat permohonan grasi tersebut. Alasan itu antara lain usia telah berusia 78 tahun yang dinilai sudah uzur; mulai renta; dan kesehatan sudah mulai menurun.
Annas juga disebut Ade mengidap berbagai penyakit sesuai keterangan dokter antara lain PPOK (COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia dan sesak napas sehingga membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari.
"Alasan-alasan tersebut yang dijadikan pertimbangan pemohon untuk mengajukan grasi kepada Presiden [Jokowi]," kata Ade.
Untuk itu, Ade menyatakan bahwa Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut demi kepentingan kemanusiaan. Hal itu menurutnya berdasarkan Pasal 6A ayat 1 dan 2 UU No. 5 tahun 2010.
"Selanjutnya Presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM," tuturnya.
Anas mendapat grasi dari Jokowi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019 mendatang. Grasi itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 23/G tahun 2019 tentang Pemberian Grasi.
Pemberian grasi atau pemotongan masa hukuman terhadap Annas selama satu tahun. Artinya, dia akan bebas pada tahun depan mengingat sebelumnya telah divonis 7 tahun penjara di tingkat kasasi.
Dengan demikian, Annas akan bebas pada 3 Oktober 2020 yang seharusnya pada 3 Oktober 2021.