Kabar24.com, JAKARTA — Tidak ada yang mengejutkan ketika tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan gugatan uji materi atau judicial review atas Undang-Undang No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu (20/11).
Semua sudah dalam rencana ketika para pegiat antikorupsi yang menjadi pengacara gugatan itu sejak awal berusaha meyakinkan para tokoh nasional dan pimpinan KPK untuk ‘melawan’ UU KPK hasil revisi singkat oleh DPR tersebut.
Sejalan dengan itu, tiga pimpinan KPK Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M. Syarif tetap pada komitmennya dengan ikut menjadi pemohon gugatan atas nama pribadi bersama 10 pemohon lainnya.
Terlepas dari itu, semua pihak menyadari bahwa nasib KPK ke depan berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menyidangkan perkara ini. Independensi ibarat jadi pertaruhan yang tak bisa dilepaskan.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan bahwa opsi kemenangan pimpinan KPK dan 10 pemohon lainnya ditentukan dua hal. Pertama, terkait dengan isi materi gugatan. Kedua, menyangkut independensi dari hakim-hakim konstitusi.
Menurut Refly, hal itu merupakan masalah yang sangat peka dan bisa memengaruhi sikap para hakim dalam mengambil putusan.
"Seperti halnya presidential threshold atau perppu ormas. Ini soal-soal kepekaaan di mana negara langsung berhadapan dengan masyakarat," tuturnya, Jumat (22/11/2019).
Refly tak memungkiri bahwa ada relasi antara kekuasaan dan institusi-institusi lainnya yang sudah bukan rahasia umum. Kesulitan saat ini, kata dia, ketika lembaga-lembaga seperti MK dapat menegakan independensi dan marwah institusinya.
"Agar benar-benar menjadi institusi yang benar-benar kredibel," ujarnya.
Dengan demikian, dia mengatakan bahwa hal ini menjadi tantangan bagi MK untuk benar-benar melihat suatu permasalahan tersebut dengan jernih. Dalam hal ini, hakim MK pun akan diuji.
Di sisi lain, lanjut Refly, di era Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat ini tengah dihadapkan dengan agenda besar pemberantasan korupsi.
"Jadi pada era sebelumnya, biasanya pasal-pasal yang memperlemah KPK itu dibatalkan oleh MK. Tapi sekarang kita enggak tahu, karena era ini agak berbeda," ujarnya.
Pakar hukum pidana Universitas Trisaksi Abdul Ficar Hadjar yang juga pemohon dalam uji materi tersebut mengakui bahwa uji materi ini menjadi tantangan bagi MK untuk menguji independensi.
"Karena kecenderungan akhir-akhir ini tidak ada pihak yang berani berbeda pendapat dengan pemerintah," tuturnya.
Oleh sebab itu, Ficar mengatakan bahwa MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman dinilai harus mempertahankan independensi dari intervensi kekuasaan lainnya.
Hakim MK juga menurutnya harus melihat adanya proses yang sangat politis dari perubahan UU KPK sebagai pelanggaran prosedur dan hukum acara perundang-undangan.
"Oleh karena itu revisi itu harus dibatalkan," katanya.
Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan sejauh ini sudah ada tujuh permohonan uji materi terhadap UU KPK hasil revisi. Sebelumnya, sebanyak enam perkara sudah registrasi dan masuk persidangan.
"Ditambah lagi satu permohonan yang baru kemarin diajukan [oleh tiga pimpinan KPK]," katanya.
Khusus untuk gugatan dari pimpinan KPK, kata dia, proses selanjutnya adalah verifikasi permohonan dan kelengkapan sebelum masuk dalam ranah persidangan. Adapun waktu verifikasi 14 hari kalender.
Menarik memang untuk menyimak secara pasti perkara UU KPK hasil revisi dari kacamata hakim MK. Independensi kehakiman menjadi pertaruhan.
Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M. Syarif pun tentu berharap hasil gugatan berbuah manis seiring akan selesainya masa jabatan mereka di akhir Desember mendatang.