Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi UU KPK : Presiden Bisa Dahului MK untuk Batalkan Aturan

Pernyatan Presiden terlontar ketika permohonan pengujian UU KPK hasil revisi sudah masuk ke MK pada 18 September.
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)./ANTARA-Hafidz Mubarak
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)./ANTARA-Hafidz Mubarak

Kabar24.com, JAKARTA — Masyarakat sipil optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) akan membatalkan UU KPK hasil revisi, tetapi Presiden Joko Widodo tetap dituntut mencabut beleid kontroversial tersebut via peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu.

Pasalnya, opsi perppu sempat dipertimbangkan Jokowi menyusul aksi demonstrasi mahasiswa pada 27 September. Pernyatan Presiden terlontar ketika permohonan pengujian UU KPK hasil revisi sudah masuk ke MK pada 18 September.

Manajer Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badi’ul Hadi menangkap pesan dari Presiden bahwa perppu dan gugatan di MK sebagai proses berbeda. Namun, alih-alih mengeluarkan perppu, Jokowi dalam pernyataan terakhirnya malah mengurungkan rencana tersebut dengan alasan menghormati MK.

“Kita tidak tahu dinamikanya apakah Presiden akan tetap berkomitmen atau tidak mengeluarkan perppu,” katanya usai acara deklarasi Koalisi Masyarakat Tolak Orba Jilid II di Jakarta, Senin (4/11/2019).

Bila perppu tidak jadi dikeluarkan, publik kini tinggal berharap pada pengujian UU KPK anyar di MK. Hadi masih percaya bahwa lembaga penafsir konstitusi tersebut akan mengabulkan gugatan.

Serupa KPK, tambah dia, MK adalah lembaga yang masih mendapatkan kepercayan tinggi dari publik. Hadi pun berharap para hakim konstitusi dapat melihat kejanggalan dalam proses pembentukan UU KPK hasil revisi sehingga membatalkannya.

“Kami berprasangka baik bahwa MK akan membantu masyarakat yang bergerak untuk penguatan KPK,” tuturnya.

Di MK, tercatat tiga perkara pengujian UU KPK anyar. Ketiga pemohon menguji beleid tersebut secara formil dengan permintaan agar MK membatalkan pemberlakuannya.

Dua perkara telah melalui tahapan sidang perbaikan permohonan, sedangkan satu perkara baru melewati sidang pemeriksaan pendahuluan. Sampai saat ini, MK belum mengumumkan tahap pemeriksaan perkara atau putusan.

JAGA KEHORMATAN

Akhir pekan lalu, Jokowi mengatakan bahwa dirinya belum berencana menetapkan perppu karena tengah berlangsung proses pengujian UU KPK hasil revisi di MK. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memandang perlu ‘sopan santun’ dalam bertata negara.

Menanggapi pernyataan itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti merasa janggal dengan alasan Presiden. Menurut dia, UUD 1945 tidak mengenal istilah ‘sopan santun’ dalam hubungan kelembagaan.

Presiden, tambah Ray, diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk menetapkan perppu. Sebaliknya, kewenangan MK adalah menguji konstitusionalitas sebuah UU atau perppu.

Dengan perbedaan kewenangan tersebut, Ray mengatakan proses gugatan dan penetapan perppu tidak menabrak hubungan dua lembaga. Justru, kata dia, MK bisa menyesuaikan pemeriksaan perkara jika UU yang diuji diubah melalui perppu.

“Perppu kalau dikeluarkan sebelum ada proses uji materi bisa dijadikan acuan apakah sidang tetap dilaksanakan atau ditiadakan,” ujarnya.

Ray pun mengingatkan kembali bahwa Jokowi sendiri yang menjanjikan perppu ketika gugatan sudah masuk ke MK. Jika memang justifikasi ‘sopan santun’ dijadikan pertimbangan, semestinya Presiden sedari awal tidak menjanjikan perppu.

“Presiden seharusnya menjaga kehormatan pejabat negara yang terlanjur menjanjikan opsi mengeluarkan perppu,” tuturnya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengakui bahwa perhatian publik memang sempat teralihkan dengan seremoni pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin dan seleksi calon anggota Kabinet Indonesia Maju. Namun, dia mewanti-wanti bahwa masyarakat tetap berekspektasi Jokowi menunaikan janjinya.

“Perppu berkaitan dengan hak prerogatifnya Presiden sehingga kita meminta tanggung jawab dia. Ketika ada hak prerogatif tapi tak mengeluarkan perppu maka memunculkan kekecewaan terhadap Presiden,” tuturnya.

Pada 17 Oktober, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengundangkan UU KPK hasil revisi yang bernomenklatur UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengundangan dilakukan setelah 30 hari persetujuan di DPR karena Jokowi tidak bersedia meneken pengesahan beleid tersebut.

Sebelum diundangkan, elemen masyarakat sipil meminta Jokowi mencabut UU KPK hasil revisi melalui pembentukan perppu. Bahkan, tercatat korban tewas mahasiswa dalam aksi menuntut perppu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper