Bisnis.com, JAKARTA – Malaysia tengah berupaya mengatasi ketergantungan pada pekerja asing berketerampilan rendah di tengah upaya menggerakkan tangga perekonomiannya. Namun, langkah ini membebani beberapa industri utama di Negeri Jiran.
Malaysia telah menargetkan untuk mengurangi jumlah pekerja asing sebesar lebih dari 130.000 dalam lima tahun. Untuk mengupayakan tujuan ini, pemerintah mendorong perusahaan-perusahaan mempekerjakan lebih banyak warga Malaysia yang berketerampilan tinggi dan beralih ke otomatisasi guna menjadi ekonomi yang lebih maju.
Meski Perdana Menteri Mahathir Mohamad telah melepaskan tujuannya mengubah Malaysia menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun depan, ia masih mendorong ekonomi untuk lebih mengandalkan industri teknologi tinggi dan lebih sedikit sumber daya.
Membatasi pekerja asing berketerampilan rendah, yang secara resmi menyumbang 15 persen dari total tenaga kerja, adalah salah satu bagian dari langkah itu.
“Tenaga kerja asing yang murah dapat menghalangi perusahaan untuk berinvestasi dalam modal dan teknologi yang lebih produktif,” tutur Menteri Keuangan Malaysia Lim Guan Eng ketika mengumumkan subsidi upah pada bulan ini.
Pekerja lokal yang dipekerjakan untuk menggantikan orang asing akan mendapatkan insentif sebanyak 500 ringgit (US$120) per bulan selama dua tahun, sedangkan pemberi kerja bisa memperoleh 250 ringgit.
Baca Juga
“Inisiatif ini akan menciptakan 350.000 lapangan kerja bagi warga Malaysia dalam lima tahun,” lanjut Lim.
Pemerintah juga akan memberlakukan sistem retribusi yang lebih ketat untuk mengurangi pekerja asing serta memberantas perdagangan manusia dengan melakukan sweeping dan mengharuskan perusahaan untuk melakukan audit yang lebih ketat.
Langkah pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada pekerja asing sebagai tujuan jangka panjang yang menjanjikan disambut positif oleh perusahaan-perusahaan lokal. Namun, dalam jangka pendek, pengaturan ini membebani.
Meski upaya ini diterapkan, perusahaan-perusahaan lokal mengaku masih membutuhkan pekerja asing berketerampilan rendah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti memanen buah sawit dan mencuci pakaian.
Bisnis-bisnis kecil dan menengah (UKM), yang berkontribusi 38 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara tahun lalu, bersama dengan produsen dan perkebunan mengatakan sedang menghadapi persoalan kekurangan tenaga kerja yang dapat mengancam pertumbuhan mereka
Masalah terbesar bagi UKM adalah kebutuhan mempekerjakan cukup banyak pekerja untuk memenuhi pesanan penjualan langsung, menurut Federation of Malaysian Manufacturers (FMM).
“UKM terkendala dalam kemampuan mereka untuk tumbuh oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyetujui aplikasi pekerja asing,” terang FMM, seperti dilansir melalui Bloomberg (Rabu, 30/10/2019).
“Pekerja-pekerja lokal tetap menjadi pilihan pertama pasokan tenaga kerja, tetapi dalam banyak kasus tidak berhasil,” tambahnya.
Salah satu konglomerat industri terbesar di Malaysia, IOI Corp., mengatakan bahwa kekurangan tenaga kerja juga merupakan tantangan utama bagi industri perkebunan.
Menurut MIDF Research, sebagian besar pekerjaan yang diisi oleh pekerja-pekerja asing dianggap kotor, berbahaya, dan sulit. Ini menjadi alasan warga lokal menghindari pekerjaan semacam itu.
IOI menggemakan pandangan ini dengan mengatakan bahwa penduduk Malaysia lebih suka bekerja di industri jasa dan di kota-kota ketimbang di perkebunan pedesaan.
Produsen minyak sawit ini telah beralih ke mesin untuk mengurangi ketergantungannya pada tenaga kerja asing serta untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi biaya.
"Tapi itu tidak sepenuhnya menghilangkan kebutuhan kami akan pekerja-pekerja asing,” ungkap pihak perusahaan.