Bisnis.com, JAKARTA - Gedung Putih secara resmi menolak untuk bekerja sama dalam penyelidikan pemakzulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Gedung Putih menyebut penyelidikan tersebut tidak sah secara konstitusional.
Mengutip Reuters, Rabu (9/10/2019), dalam surat yang dikirimkan kepada Ketua DPR Nancy Pelosi dan petinggi Partai Demokrat yang mengajukan penyelidikan, Gedung Putih mengungkapkan alasan penolakan kerja sama tersebut.
Gedung Putih keberatan bahwa penyelidikan pemakzulan Trump dilakukan tanpa melalui proses voting di DPR. Padahal penyelidikan pemakzulan pada tiga presiden AS sebelumnya (Andrew Johnson, Richard Nixon, dan Bill Clinton) selalu melalui proses pemungutan suara DPR.
“Proses tanpa voting DPR belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa kita. Dalam setiap kesempatan sebelumnya untuk penyelidikan pemakzulan presiden telah ada pemungutan suara dari DPR, " kata seorang pejabat senior administrasi.
Dalam surat itu juga disebutkan bahwa Trump telah ditolak hak-hak dasar proses hukumnya, seperti cek silang saksi, memanggil saksi, menerima transkrip kesaksian, dan memiliki akses ke bukti.
"Semua ini melanggar Konstitusi, aturan hukum, dan semua preseden masa lalu," demikian tertulis dalam surat itu.
Baca Juga
Whistleblower penyelidikan pemakzulan Trump juga menjadi salah satu perhatian Gedung Putih. Identitas pembocor rahasia yang menuduh Trump secara tidak pantas melibatkan Ukraina dalam pemilihan presiden 2020 itu dilindungi oleh Demokrat.
"Seharusnya tidak ada situasi di mana Anda dapat memiliki saksi utama, penuduh dalam penyelidikan pemakzulan, dan presiden tidak pernah bisa tahu siapa penuduh itu dan tidak pernah bisa memeriksanya," kata pejabat senior administrasi.
Adapun mulainya penyelidikan pemakzulan berangkat dari tuduhan seorang whistleblower yang menyebutkan Trump diduga menggunakan kekuasannya di Gedung Putih untuk meminta campur tangan dari negara asing dalam pemilihan presiden AS 2020. Trump melakukan panggilan telepon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada 25 Juli lalu dan meminta Ukraina untuk menyelidiki saingan utamanya, Joe Biden.