Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo didesak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum 17 Oktober mendatang.
Tanggal tersebut merupakan waktu berlakunya UU baru KPK hasil revisi yang sebelumnya telah disahkan oleh parlemen pada 17 September 2019.
Artinya, jika Jokowi tidak segera menerbitkan Perppu maka UU baru itu akan diberlakukan setelah 30 hari pengesahan di DPR. Namun, hingga kini Jokowi belum memberikan tanda-tanda penerbitan Perppu.
Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan bahwa Jokowi dapat langsung membubuhkan tanda tangan UU KPK yang telah direvisi untuk kemudianJokowi dapat menerbitkan Perppu UU KPK.
"Biar tidak menunggu 17 Oktober. Disahkan saja dulu [oleh Jokowi]. Dikasih nomor UU-nya dan saat itu juga di [terbitkan] perppu. Karena sudah mendesak," ujarnya, Minggu (6/10/2019).
Dia mengatakan bahwa hal serupa pernah terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Perppu itu mencabut UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
"Ini bukan presiden pertama [yang melakukan hal tersebut], dulu waktu zaman SBY [Susilo Bambang Yudhoyono], ketika diakhir masa jabatannya itu dilakukan hal yang sama," kata dia.
Di sisi lain, Fajri mengatakan bahwa legislative review yang belakangan ini disebut menjadi opsi selain penerbitan Perppu dinilai bukan solusi. Perppu merupakan jalan satu-satunya untuk memecah kebuntuan polemik UU KPK.
Di tempat yang sama, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana memandang bahwa legislative review sebetulnya sudah dilakukan pada saat pembahasan revisi UU KPK yang sangat singkat.
Dengan demikian, pihaknya tidak ingin ada lagi pembahasan UU KPK hasil revisi di DPR melalui legislative review. Sebaliknya, Perppu adalah jalan tengah yang harus dilakukan Presiden Jokowi.
"Karena Perppu itu diatur dalam UUD dan hierarki Presiden dan ini sebenarnya nanti akan diperiksa kembali, apakah ini akan ditolak atau diterima," ujar Kurnia.
Terpisah, anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Yohanis Fransiskus Lema berpendapat agar Presiden Jokowi tak perlu menerbitkan Perppu KPK.
Dalam keterangannya, dia menyatakan bahwa Perppu KPK adalah hak subjektif presiden dan bersifat sementara mengingat harus pula melalui persetujuan di DPR.
Masyarakat yang keberatan dengan UU KPK hasil revisi diminta untuk mengajukan gugatan atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar keputusannya mengikat dan permanen.