Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi pada Rabu (18/9/2019).
Imam diduga menerima total Rp26,5 miliar dengan rincian Rp14,7 miliar dari suap dana hibah Kemenpora ke KONI, dan penerimaan gratifikasi Rp11,8 miliar dari sejumlah pihak dalam rentang 2016-2018.
Uang sebesar Rp14,7 miliar terkait dana hibah diterima Imam Nahrawi melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum, yang juga jadi tersangka KPK dan telah ditahan sebelumnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan penerimaan Imam Nahrawi diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora.
Selain itu, menurut Alex, penerimaan uang itu terkait dengan Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam Nahrawi selaku Menpora.
"Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak Iain yang terkait," kata Alex dalam konferensi pers.
Baca Juga
Menurut Alex, dana hibah dari Kemenpora untuk KONI yang dialokasikan adalah sebesar Rp17,9 miliar. Dalam perkara tersebut, diduga KONI pada tahap awal mengajukan proposal kepada Kemenpora untuk mendapatkan dana hibah tersebut.
Alex mengatakan pengajuan dan penyaluran dana hibah tersebut diduga sebagai akal-akalan dan tidak didasari kondisi yang sebenarnya.
"Sebelum proposal diajukan, diduga telah ada kesepakatan antara pihak Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan fee sebesar 19,13 persen dari total dana hibah Rp17,9 miliar yaitu sejumlah Rp 3,4 miliar," kata Alex.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengaku akan mendalami lebih lanjut terkait penerimaan gratifikasi Imam Nahrawi melalui pendekatan follow the money mengingat selain pasal suap, Imam juga dikenakan Pasal 12 B terkait gratifikasi.
Proses penyelidikan Imam sudah dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019, diiringi dengan pemanggilan Imam Nahrawi sebanyak tiga kali. Namun, Imam tidak menghadiri permintaan keterangan tersebut yang dilakukan pada pada 31 Juli, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019.
Kasus dana hibah KONI diawali dengan operasi tangkap tangan pada 18 Desember 2018 dan mengamankan uang tunai di kantor KONI sebesar Rp7,4 miliar. Kemudian, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka.
Mereka adalah Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johny E. Awuy, Deputi IV Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana, PPK Kemenpora Adhi Purnomo, Staf Kemenpora Eko Triyanto.
Putusan Hakim
Sebelumnya, nama Imam dan Miftahul Ulum memang disebutkan dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Hakim menyebut asisten Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, menerima uang senilai Rp11,5 miliar.
Saat membacakan vonis terhadap Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy di Pengadilan Negeri Tipikor, Senin (20/5), anggota majelis hakim Arifin menyampaikan uang itu diterima Ulum dari Ending dan Bendahara KONI Johny E. Awuy untuk memenuhi comittment fee yang diminta.
“Juga diberikan ke Miftahul Ulum selaku aspri Menteri melalui Arief Susanto selaku protokoler Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar,” paparnya.
Hakim Arifin memerinci pemberian pertama pada Maret 2018, Ending menyerahkan Rp2 miliar kepada Ulum di Gedung KONI Pusat lantai 12. Kedua, Ending juga menyerahkan uang senilai Rp500 juta kepada Ulum di ruang kerja Ending di KONI pada Februari 2018.
Ketiga, sekitar Juni 2018, Johny E. Awuy menyerahkan uang sejumlah Rp3 miliar kepada suruhan Ulum yaitu Arief Susanto selaku staf protokoler Kemenpora di lantai 12 gedung KONI Pusat.
Keempat, Ending menyerahkan uang sebesar Rp3 miliar kepada Ulum di ruang Sekjen KONI Ending di lantai 12 gedung KONI Pusat pada Mei 2018.
Kelima, sebelum Lebaran 2018, Ending memberikan uang sejumlah Rp3 miliar dalam bentuk mata uang asing kepada Ulum di lapangan tenis Kemenpora. Uang itu ditukarkan Johny atas perintah Ending sekitar beberapa hari sebelum Lebaran.
Selanjutnya, Johny juga pernah melakukan transfer kepada Ulum saat Johny tengah berada di Papua, sedangkan Ulum berada di Jeddah.
“Johny mentransfer Rp20 juta, lalu saat kembali ke Jakarta, Johny melapor ke Ending dan Johny mentransfer lagi Rp30 juta. Sehingga, total yang ditransfer ke Miftahul Ulum adalah Rp50 juta,” katanya.
Transfer uang tersebut dilakukan dalam kurun waktu akhir November hingga awal Desember 2018.
Namun, lanjut hakim, berdasarkan persidangan kasus ini, Menpora Imam Nahrawi dan Miftahul Ulum membantah uang itu. Tetapi, dibenarkan oleh para terdakwa dan saksi yang dihadirkan.
“Maka, menurut majelis hakim perbuatan Ending kepada pihak Kemenpora sebagaimana diuraikan di atas memenuhi unsur memberi atau menjanjikan sesuatu,” ujarnya.
Majelis Hakim sebelumnya telah menjatuhkan vonis kepada para terdakwa. Johny dan Ending terbukti bersalah menyuap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, PPK pada Kemenpora Adhi Purnomo dan staf Kemenpora Eko Triyanta.
Keduanya terbukti menyuap Mulyana dengan 1 unit mobil Fortuner, uang Rp400 juta, dan 1 unit ponsel Samsung Galaxy Note 9. Adapun suap kepada Asisten Olahraga Prestasi pada Adhi Purnomo dan Eko Triyanta diberikan dengan nilai Rp215 juta.
Suap itu dilakukan bersama-sama dengan Ending dengan tujuan agar Mulyana, Adhi dan Eko membantu mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI Pusat kepada Kemenpora tahun 2019.
Sekjen KONI Ending telah divonis 2 tahun 8 bulan penjara, Bendahara KONI Johny Awuy divonis 1 tahun 8 bulan, Mulyana divonis 4,6 tahun, sedangkan Adhi dan Eko divonis 4 tahun penjara.