PM Inggris Boris Johnson
Francis Fukuyama, seorang filsuf ternama yang mengembangkan konsep politik End of History mengaku ketakutan dengan masa depan demokrasi setelah melihat kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Dia tidak pernah menduga bahwa demokrasi liberal berjalan mundur dengan kebangkitan kekuatan konservatif dan ultra-nasionalis seperti pada Perang Dunia II.
Tampaknya kebangkitan era konservatif terwakili oleh sosok Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson yang mulai berkuasa sejak Juli lalu menggantikan Theresa May yang juga sama-sama berasal dari Partai Konservatif.
Istilah Brexit yang kini sangat populer di Eropa tidak terlepas dari sosok Boris Johnson. Kalau Presiden Donald Trump menolak imigran yang masuk ke Amerika Serikat, Johnson malah berjuang agar Inggris keluar dari Uni Eropa, sebuah persekutuan pasar tunggal yang terdiri dari 28 negara di Eropa.
Tokoh Partai Konservatif itu seolah-olah ingin mengembalikan Inggris sebagai kerajaan yang mandiri tanpa bergantung pada kawasan sekitar dengan alasan akan lebih menguntungkan secara ekonomi dan politik.
Johnson mengatakan akan mendapatkan kesepakatan Brexit pada 18 Oktober. Karena itu di menegaskan tidak takut dengan upaya parlemen memblokir Brexit terlaksana tanpa kesepakatan.
"Saya jelas tidak takut dengan apa pun yang terjadi di parlemen, saya pikir seluruh rakyat Inggris ingin kami mendapatkan kesepakatan dan melanjutkannya dan keluar pada 31 Oktober," kata Johnson dalam sebuah kutipan Theguardian.com, Jumat (13/9/2019).
Di sisi lain, keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa juga dipengaruhi oleh rasa terlalu mengagungkan bangsa sendiri. Selain di Inggris dan AS, kebangkitan jenis kelompok ini terjadi dimana-mana sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Fukuyama.