Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat menguji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan agenda tes wawancara. Peserta pertama adalah Nawawi Pamolonga.
Salah satu yang ditanyakan kepadanya terkait revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nawawi menyatakan setuju revisi tapi tidak keseluruhan.
Dia sepakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).
“Saya pernah menyidangkan perkara seorang sekretaris Kemenkes kalau tidak keliru. Saksinya itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Setelah saya periksa sebagai saksi, waktu itu sudah ditetapkan sebagai tersangka. Saya sudah muter empat pengadilan mutasi ketemu lagi sama ibu itu. Dia bilang, ‘Pak Hakim perkara saya masih belum selesai, saya masih tersangka sampai hari ini.’ coba itu,” katanya di ruang rapat Komisi III DPR, Rabu (11/9/2019).
Nawawi menjelaskan bahwa orang itu kasusnya terombang-ambing setelah ditetapkan sebagai tersangka. Karirnya habis karena ketidakjelasan atas kasusnya.
Lalu dia mencari literatur kenapa harus ada pasal 40 dalam UU 30/2002 yang isinya soal KPK tidak bisa mengeluarkan SP3. Dalam satu forum dia mendapat jawaban bahwa itu hanya sekadar pembeda dari lembaga penegak hukum lain.
Baca Juga
Sementara itu Nawawi yang memiliki latar belakang hakim ini menganggap ada poin revisi yang harus dipertimbangkan kembali. Salah satunya terkait penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
“Ini sepertinya dipikir-pikir dulu gitu. Di mana letak independensi KPK kalau kemudian tuntutan harus dikoordinasikan dengan kejaksaan ini barangkali disikapi. Jadi saya dalam posisi ada yang it's okay ada yang oke seperti itu Pak,” jelasnya.