Kabar24.com, JAKARTA — Masyarakat di Tanah Papua menginginkan hak serupa dengan warga Aceh ihwal pendirian partai politik lokal.
Pasal 28 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) mencantumkan hak penduduk Papua untuk membentuk ‘partai politik’ beserta tata cara dan rekrutmennya.
Hanya saja, sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dapat melahirkan satu partai politik lokal pun di Papua karena penggunan frasa ‘partai politik’.
Sebaliknya, Provinsi Aceh yang belakangan mendapatkan status otonomi khusus berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh telah menelurkan sejumlah partai politik lokal semenjak Pemilu 2009. Pasalnya, beleid tersebut secara eksplisit mencantumkan frasa ‘partai politik lokal’ sebagai pembeda dari frasa ‘partai politik’.
Merujuk payung hukum partai politik, terakhir dengan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), ‘partai politik’ dimaknai sebagai organisasi yang bersifat nasional.
Lantaran keberadaan frasa ‘partai politik’ dalam UU Otsus Papua, Partai Papua Bersatu (PPB) mengadu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta MK menafsirkan frasa tersebut sebagai ‘partai politik lokal’.
“Inti permohonan kami ingin seperti di Aceh,” kata Habel Rumbiak, kuasa hukum PPB, ketika dimintai tanggapan usai sidang pemeriksaan pendahuluan di Jakarta, Senin (9/9/2019).
PPB didirikan di Kota Jayapura pada 29 Oktober 2014. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kemudian mengesahkan PPB pada 17 November 2014.
Menjelang Pileg 2019, PPB mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua pada 16 Oktober 2017 agar diperkenankan mengikuti proses verifikasi faktual dan administratif. Namun, penyelenggara pemilu menolak PPB dengan alasan partai politik lokal di Papua belum memiliki payung hukum.
“Bahkan pengesahan kami kemudian dicabut sepihak oleh Kemenkumham,” kata Habel.
Penolakan itu, menurut Habel, bertentangan dengan jaminan hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Selain itu, keberadaan frasa ‘partai politik’ dalam UU Otsus Papua dinilai mencederai prinsip negara hukum.
Habel mengklaim niat awal pembentuk UU Otsus Papua ketika masih berupa rancangan adalah memberikan hak masyarakat setempat untuk mendirikan partai politik lokal. Namun, ketika beleid itu disahkan, kata ‘lokal’ dihilangkan sehingga tinggal frasa 'partai politik'.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengingatkan kemungkinan dampak hukum bila permohonan PPB dikabulkan. Jika frasa ‘partai politik’ dimaknai ‘partai politik lokal’, konsekuensinya adalah hanya partai politik lokal yang bisa eksis di Papua.
Permohonan PPB merupakan pengujian konstitusionalitas UU terkait Papua kedua dalam kurun satu tahun ini.
Pada 30 April, sekelompok masyarakat asal Papua menggugat keabsahan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969. Eksistensi kata ‘Pepera’ terdapat dalam UU No. 12/1969 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Pepera menjadi dasar bergabungnya Irian Barat, yang kini bernama Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1969. Pelaksanaan Pepera merupakan konsekuensi Perjanjian New York 1962 antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Setelah Pepera, Pemerintah dan DPR kemudian membentuk UU No. 12/1969. Kata ‘Pepera’ kemudian dimasukkan dalam bagian konsiderans dan penjelasan umum beleid tersebut.