Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mempertimbangkan langkah lanjutan menyusul mangkirnya Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dari pemeriksaan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (19/7/2019).
Keduanya dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
"KPK akan mempertimbangkan langkah lebih lanjut yang akan dilakukan terkait dengan dua kali ketidakhadiran tersangka ini," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Hanya saja, Febri belum merinci terkait langkah lanjutan yang akan diambil tersebut. Padahal, dalam pemanggilan keduanya lembaga antirasuah menggandeng komisi antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Adapun surat panggilan pemeriksaan pun telah dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan sejak Rabu (10/7/2019).
Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd, sejak Kamis (11/7/2019).
Baca Juga
Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.
"Dalam beberapa waktu ke depan KPK tetap akan meneruskan penyidikan kasus BLBI dan telah mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi yang diperlukan," kata Febri.
Di sisi lain, tim penyidik juga secara bersamaan tengah memperhatikan untuk menelusuri aset-aset Sjamsul Nursalim demi kepentingan pengembalian kerugian keuangan negara atau pemulihan (asset recovery).
Dalam perkara ini, KPK menduga Sjamsul dan Itjih melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun dari hasil hitungan BPK.
Saat dilakukan Financial Due Dilligence(FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Pada 24 Mei 2007, PT Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.