Kabar24.com, JAKARTA — Para pemohon sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 turut mendalilkan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM kala mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dalil pelanggaran TSM digunakan oleh pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno kala menggugat hasil Pilpres 2019. Namun, MK dalam putusannya pekan lalu mementahkan dalil tersebut dengan mempertimbangkan keberadaan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga yang berwenang menangani pelanggaran TSM.
Partai Gerindra yang diketuai oleh Prabowo adalah salah satu partai politik penggugat hasil Pileg 2019 MK. Sebanyak 21 permohonan atas nama Gerindra telah tercatat dalam daftar permohonan di laman resmi MK.
Mayoritas permohonan Gerindra mendalilkan adanya perbedaan penghitungan suara Pileg 2019 dengan Komisi Pemilihan Umum di berbagai daerah. Namun, persoalan terkait pelanggaran proses pemilu yang menjadi kewenangan Bawaslu pun turut terselip dalam sejumlah permohonan.
Di Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) II, Gerindra mengklaim terjadi kecurangan TSM yang merugikan calon anggota DPR-nya. Peristiwa TSM didalilkan Gerindra terjadi di Kecamatan Wawewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya,
KPU menetapkan Gerindra memperoleh 599 suara di Wawewa Timur, tetapi parpol nomor urut 2 itu mengklaim seharusnya mengumpulkan ribuan suara. Bila tidak ada TSM saat penghitungan suara, Gerindra meraup 78.901 suara di Dapil NTT II sehingga berhak atas satu kursi DPR.
“Suara pemohon yang hanya berjumlah 75.782 suara adalah akibat kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh termohon dan peserta pemilu lain,” tulis Gerindra.
Dalil TSM juga dipakai Gerindra untuk menggugat hasil Pileg 2019 di Dapil Jawa Timur I. Bahkan, serupa dengan sengketa hasil Pilpres 2019, dalil tersebut dikemukakan untuk meminta MK mendiskualifikasi calon anggota DPR.
Namun, gugatan tersebut beraroma perselisihan internal karena yang diminta pembatalan kepesertaannya adalah Rahmat Muhajirin, caleg peraih suara terbanyak Gerindra. Dia memperoleh 86.274 suara sehingga berkesempatan mewakili partainya di Senayan yang mendapatkan jatah satu kursi DPR.
Koleganya, Bambang Haryo Soekarto, yang memperoleh suara terbanyak kedua, menuding perolehan suara Rahmat berkat politik uang. Dengan membandingkan kasus Pemilukada Kotawaringin Barat 2010, Bambang memohon kepada MK agar Rahmat didiskualifikasi.
Selain TSM, Gerindra menyoal proses tahapan pemilu di Dapil Lampung II yang dituding minim partisipasi pencoblos karena pemilih tidak menerima undangan. Banyaknya pemilih yang tidak menggunakan haknya itu diklaim telah mengurangi perolehan suara Gerindra.
Raka Gani Pissani, kuasa hukum Gerindra, mengakui bahwa kliennya tidak semata mendalilkan perbedaan penghitungan suara dalam permohohan-permohonan sengketa hasil Pileg 2019. Dalil mengenai pelanggaran sebelum proses pencoblosan pun dicantumkan. “Iya benar [beberapa memakai dalil mengenai pelanggaran proses pemilu],” ujarnya ketika dikonfirmasi Bisnis.com, Senin (1/7/2019).
Sementara itu, Partai Nasdem juga menyoal proses pemilu untuk dalil permohonan sengketanya di MK. Salah satunya dalam pemilihan anggota DPRD Provinsi Maluku Utara (Malut).
Di Kabupaten Kepulauan Sula, Nasdem menuding terjadi ketidaksesuaian daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), dan daftar pemilih khusus (DPK) dengan penggunaan surat suara di TPS.
Senin, MK memasukkan permohonan-permohonan sengketa hasil Pileg 2019 ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Sidang pemeriksaan pendahuluan akan berlangsung dari 9 Juli-12 Juli.