Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Andi Arief : Sampai Lebaran Kuda, Pihak yang Kalah Pilpres Selalu Merasa Dicurangi

Mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief menilai pihak yang kalah bakalan menuduh penyelenggara pemilu selalu tidak adil. Apakah memang benar demikian?
Suasana sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019)./ANTARA-Hafidz Mubarak A
Suasana sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019)./ANTARA-Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, Jakarta - Andi Arief, Mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat, kembali membuat kicauan kontroversial di Twitter.  Dia menyebut sampai lebaran kuda, pihak yang kalah pemilu bakal selalu menuduh komisi pemilihan umum tidak adil.

Pernyataan ini dikeluarkan terkait babak baru Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang kini tengah dipersidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggugat hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Sampai lebaran kuda, penyelenggara pemilu selalu dituduh tidak adil bagi yang kalah, KPU pun akan selalu dianggap berpihak kepada calon inkumben," tulis Andi Arief di Twitter pada Rabu (19/06/2019).

Bisnis.com pun menguji fakta pernyataan Andi Arief terkait kontestan yang kalah akan selalu menuduh pemilu tidak adil. Sepanjang Indonesia berdiri, pilpres secara langsung pertama kali diadakan pada 2004. Dalam pilpres putaran pertama yang diselenggarakan pada 5 Juli 2004, ada 5 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memburu kursi RI 1 dan 2.

Lalu, pada putaraan kedua pada 20 September 2004, pasangan calon yang bertarung mengerucut menyisakan antara Susilo bambang Yudhoyono (SBY) berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) dan Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi.

Namun paslon Wiranto-Salahuddin Wahid yang berada diurutan ketiga, tepat di bawah Megawati-Hasyim, merasa telah dicurangi. Mereka mengklaim harusnya mendapat tambahan 5,4 juta suara apabila tidak ada kecurangan.

Sembilan gugatan yang menyasar KPU pun dilayangkan ke MK, seperti adanya penggelembungan suara untuk salah satu paslon dan pengurangan suara untuk paslon lain.

Di pengadilan, Wiranto-Wahid tidak mampu memberikan bukti kecurangan-kecurangan itu. Alhasil, gugatan tersebut ditolak.

Kemudian pada 2009, ada 3 kontestan bertarung dalam gelaran pilpres yang berlangsung pada 8 Juli 2009. Berdasarkan hasil penghitungan suara, KPU menyatakan SBY kembali menjadi presiden setelah berhasil meraih 60,8 persen suara.

Sang petahana meninggalkan jauh Megawati yang berpasangan dengan Prabowo dan JK yang berapasangan dengan Wiranto. Tuduhan kecurangan juga kembali dilayangkan oleh capres-cawapres yang kalah.

Tim Garuda yang dibentuk Paslon JK-Wiranto untuk memantau pemungutan suara menemukan adanya indikasi kecurangan berupa kertas suara yang telah tercoblos di Timika, Papua. Selain itu, formulir C1 ganda juga ditemukan di Kediri, Jawa Timur, maupun formulir C1 yang sudah ditandatangai di Tangerang, Banten.

Paslon lainnya, Megawati-Prabowo turut membentuk sejumlah tim untuk menelisik kecurangan. Mereka menengarai adanya nama ganda dalam DPT yang berjumlah 7,65 juta yang tersebar di 69 kabupaten dan kota di 6 provinsi.

Pada hari pemungutan suara, kubu Megawati-Prabowo menggelar hitung cepat sendiri. Berdasarkan laporan Tempo Arief Poyuono yang mewakili lembaga survei Indonesia Development Monitoring Institute (IDMI) memaparkan Megawati-Prabowo berhasil mengantongi 38,8 persen suara. Hasil itu membuat Pilprers 2009 harus digelar 2 putaran.

Namun, permohonan perselisihan hasil Pilpres 2009 yang diajukan paslon JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo ditolak oleh MK. Ketua MK saat itu Mahfud MD menilai tidak ditemukan pelanggaran yang bersifat sistematif, terstruktur, dan masif (TSM).

Lima tahun berselang, MK kembali menerima gugatan terkait hasil Pilpres. Paslon Prabowo-Hattta Rajasa mengkalim telah terjadi kecurangan di 52.000 TPS di seluruh Indonesia dan melibatkan 21 juta suara.

Sederhananya, kuasa hukum paslon yang saat itu bernomor urut 01 menilai telah terjadi kecurangan yang TSM dalam gelaran Pilpres 2014.

Namun MK menolak seluruh permohonan gugatan paslon Prabowo-Hatta yang mengklaim memenangi pilpres sehingga otomotis menggugurkan hitungan KPU atas kemenangan Jokowi-JK.

Majelis hakim MK menilai Prabowo-Hatta tidak menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan di mana terjadinya kesalahan hasil perhitungan suara sehingga berakibat pada berkurangnya perolehan suara mereka.

Yang terbaru pada gelaran Pilpres 2019, capres yang sama dengan cawapres berbeda, yanki Prabowo-Sandiaga Uno, merasa telah terjadi kecurangan sehingga mengajukan permohonan gugatan hasil Pilpres 2019.

Mereka mengklaim unggul perolehan suara sebanyak 52 persen dari paslon Jokowi-Ma'ruf Amin.

Berkaca dari sejarah pilpres Indonesia pasca Orde Baru, pernyataan Andi Arief yang menyebut 'sampai lebaran kuda penyelenggara pemilu selalu dituduh tidak adil' ada benarnya juga. Bagaimana kalau menurut Sobat Bisnis?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ahmad Rifai
Editor : Surya Rianto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper