Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menggugat pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim ke pengadilan.
Gugatan tersebut berkaitan dengan gugatan taipan Sjamsul Nursalim terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara di Pengadilan Negeri Tangerang.
"Direncanakan KPK mengajukan gugatan sebagai pihak ketiga yang kepentingannya terganggu dengan adanya gugatan Sjamsul Nursalim terhadap BPK tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (11/6/2019).
Sjamsul yang menjadi tersangka KPK menggugat auditor BPK terkait laporan hasil pemeriksaan investigatif kerugian keuangan negara dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Februari lalu.
Terdapat enam petitum dalam gugatan Sjamsul Nursalim yang diwakili oleh Otto Hasibuan dan Associates sebagai kuasa hukumnya.
KPK sebelumnya memang meminta BPK menaksir kerugian berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif perhitungan kerugian negara. Disebutkan bahwa kerugian keuangan negara ditaksir mencapai Rp4,58 triliun.
Hanya saja, Febri belum menjelaskan secara detail terkait gugatan KPK terhadap salah satu orang terkaya di Indonesia itu. Namun, KPK saat ini akan mendukung penuh BPK pada sidang perdana yang akan digelar di Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu (12/6/2019)
Dukungan penuh itu akan diberikan lantaran sejak awal lembaga antirasuah dan BPK bekerja sama dalam penanganan kasus BLBI khususnya terkait perhitungan kerugian keuangan negara.
Sjamsul telah diperkaya oleh Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung senilai Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI.
"Sehingga kami perlu memberikan dukungan penuh pada BPK dan auditornya tersebut," ujar Febri.
Terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana berharap hakim PN Tangerang tidak menerima permohonan gugatan perdata yang dilayangkan oleh Sjamsul Nursalim.
Ada beberapa alasan yang menjadi dasar agar gugatan tersebut dapat ditolak karena 'salah alamat'. Pertama, audit BPK yang dilakukan pada tahun 2017 lalu telah dibenarkan oleh hakim pada persidangan dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Menurut Kurnia, pada saat pembacaan putusan Tumenggung secara sah dan meyakinkan telah terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
Dalam putusan tersebut, lanjut Kurnia, juga secara spesifik menyebutkan nama pihak lain yang harus dimintakan pertanggungjawaban yakni Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, dan Dorodjatun.
"Padahal berdasarkan Legal Due Dilligence dan Financial Due Dilligence yang sebelumnya dilakukan diketahui aset berupa piutang BDNI kepada petambak udang Dipasena sebesar Rp4,8 triliun terdapat misrepresentasi," katanya.
Kedua, audit BPK dengan jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau investigatif tidak membutuhkan tanggapan dari pihak yang diperiksa. Dalam beberapa pernyataan kuasa hukum Sjamsul Nursalim, kata Kurnia, disebutkan bahwa audit yang dilakukan BPK tidak sah karena belum melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa.
"Tentu ini pendapat yang keliru, karena dalam aturan internal BPK menyebutkan bahwa untuk pemeriksaan investigatif tidak perlu tanggapan dari pihak yang diperiksa," kata dia.
Ketiga, audit yang dilakukan oleh BPK dilakukan atas permintaan KPK dalam rangka penghitungan kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.
Dalam hal ini, Kurnia mengatakan bahwa BPK telah tepat untuk mengeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan pada tanggal 25 Agustus 2017 lalu sebagai upaya percepatan penanganan kasus.
Keempat, audit BPK yang dilakukan pada tahun 2002, 2006, dan 2017 tidak bisa disamakan karena pada prinsipnya ruang lingkup audit berbeda satu sama lain.
"Jika dibaca lebih rinci, audit BPK tahun 2002 merupakan audit investigatif, audit BPK tahun 2006 adalah audit kinerja, dan audit BPK tahun 2017 adalah merupakan audit investigatif dalam rangka perhitungan kerugian negara," paparnya.
Pada audit sebelumnya yaitu 2002 dan 2006, lanjut dia, tidak pernah ada kesimpulan bahwa hutang Sjamsul Nursalim kepada negara telah selesai. Oleh karena itu, tidak tepat jika kuasa hukum Sjamsul menjadikan hal ini sebagai dasar gugatan.
Terakhir, seorang ahli yang memberikan kesaksian di muka persidangan tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas keterangan yang disampaikan.
Menurut Kurnia, hal ini sudah diatur dalam Pasal 32 ayat (1) United Convention Against Corruption yang telah diratifikasi dalam UU No 7 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa seorang ahli harus mendapat perlindungan dari negara terkait dengan keterangan yang disampaikan di muka persidangan.