Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Ketua KPK Agus Rahardjo telah menyebarkan Surat Edaran (SE) KPK No. B/3956/GTF.00.02/01-13/05/2019 tanggal 8 Mei 2019.
Surat edaran terkait tentang Imbauan Pencegahan Gratifikasi terkait Hari Raya Keagamaan (Idulfitri). Penerimaan gratifikasi terbilang rawan di momen Lebaran.
Hal ini untuk menghindari risiko sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang No 20. Tahun 2001 jo. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman penerima dan pemberi gratifikasi paling singmat 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan telah mengimbau ASN/penyelenggara negara untuk tidak menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dalam imbauan tersebut juga menyebut bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kepada KPK apabila menerima gratifikasi dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan gratifikasi.
"Terhadap penerimaan gratifikasi berupa bingkisan makanan yang mudah rusak, kadaluarsa dalam waktu singkat dan dalam jumlah wajar dapat disalurkan ke panti asuhan, panti jompo dan pihak lain yang membutuhkan," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (11/5/2019).
Adapun syarat tersebut, lanjut dia, penyelenggara negara harus melaporkan terlebih dahulu kepada masing-masing instansi disertai penjelasan taksiran harga dan dokumentasi penyerahannya. Selanjutnya, instansi melaporkan rekapitulasi penerimaan tersebut kepada KPK.
Selain menolak gratifikasi, KPK juga mengimbau kepada pimpinan instansi atau lembaga negara agar melarang penggunaan fasilitas dinas untuk kepentingan pribadi seperti penggunaan kendaraan dinas operasional untuk kegiatan mudik.
Menurut Febri, penggunaan fasilitas dinas seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan kedinasan dan merupakan bentuk benturan kepentingan yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat.
Tak hanya itu, permintaan dana sebagai THR, permintaan sumbangan, hadiah sebagai THR penyelenggara negara baik atas nama individu atau institusi yang ditujukan kepada masyarakat, perusahaan, atau penyelenggara negara lainnya merupakan dilarang.
"Hal itu baik tertulis maupun tidak tertulis karena merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi," kata Febri.