Bisnis.com, JAKARTA -- Penggunaan teknologi elektronik dalam proses rekapitulasi atau pemungutan suara di Pemilihan Umum (Pemilu) dianggap lebih efisien dibanding proses manual. Tetapi, belum ada perhitungan mengenai seberapa efisien penggunaan teknologi tersebut.
Eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan hingga 2017, penyelenggara Pemilu di Indonesia belum memiliki perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk menerapkan sistem e-voting atau e-rekapitulasi.
"Belum ada [perhitungan] karena kan untuk bisa menghitung kita harus pastikan dulu teknologi apa yang harus digunakan. Misalnya, e-voting, e-rekapitulasi itu kan harus dipastikan. Di dalam e-voting itu seperti apa karena kan variannya banyak sekali, kemudian e-rekapitulasi juga begitu," tuturnya kepada Bisnis, Kamis (9/5/2019).
Menurut Hadar, penggunaan teknologi e-rekapitulasi atau e-voting pasti akan mahal di awal. Sebab, banyak infrastruktur baru yang harus disediakan.
Namun, dia mengungkapkan KPU pada masa dia bertugas, meyakini penggunaan teknologi akan membuat Pemilu lebih efisien pada masa depan. Hadar juga menyatakan ada sejumlah negara yang selama ini menjalankan sistem Pemilu dengan e-rekapitulasi, seperti Fiji, Filipina, dan Korea Selatan (Korsel).
"[Pemilu di] Filipina juga sebenarnya mereka tak berikan suara langsung ke mesin. Jadi, mereka itu menyatakan pilihan di atas kertas tapi memang tidak model dicoblos, tapi mereka mengarsir pilihan seperti kalau kita ujian. Nanti hasilnya itu baru dibaca [mesin]," terangnya.
Baca Juga
Sistem e-rekapitulasi dinilainya lebih pantas digunakan di Indonesia alih-alih e-voting. Alasannya, dalam e-rekapitulasi, tabulasi data yang dilakukan hanya berasal dari hasil hitungan dari tiap-tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sementara itu, dalam e-voting, proses pemilihan dan rekapitulasi langsung diproses oleh mesin.
Lain lagi dengan e-counting. Dengan sistem ini, pemungutan suara dilakukan manual tapi mesin yang akan menghitung hasilnya mulai tingkat TPS.
"Jadi, itu ada tingkatannya. Saya kira model Indonesia yang lebih tepat adalah rekapitulasinya saja yang diperlukan, bukan untuk meng-casting dan menghitung suara. Itu kajian kami kemarin posisinya begitu," jelas Hadar.
Banyaknya korban yang jatuh dalam Pemilu 2019 membuat banyak pihak mendorong dilakukannya evaluasi Pemilu serentak, termasuk opsi menggunakan e-voting atau e-rekapitulasi.
Hingga awal Mei 2019, terdata sebanyak 377 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal akibat kelelahan usai bertugas dalam Pemilu. Jumlah petugas yang jatuh sakit pun tak main-main, menembus 3.022 orang.