Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta tak ragu lagi untuk segera memberhentikan dengan tidak hormat pegawai negeri sipil (PNS) koruptor pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XVI/2018.
Putusan MK menguatkan sikap pemerintah memberhentikan tidak hormat PNS koruptor menggunakan instrumen UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tibiko Zabar mengatakan, hingga kini masih banyak pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang masih ragu untuk memberhentikan dengan tidak hormat PNS koruptor. Padahal, sudah ada surat keputusan bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi dan Birokrasi (Men-PANRB), dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang mengatur hal itu.
“Karena sudah jelas korupsi yang dilakukan seorang aparatur negara/PNS merupakan tindakan pembangkangan terhadap rakyat, yang seharusnya seorang PNS bertugas melayani masyarakat, mengabdi pada bangsa dan negara, bukan mencuri. Korupsi yang dilakukan telah mengkhianati rakyat,” ujar Tibiko kepada Bisnis, Jumat (26/4/2019).
SKB Mendagri, Men-PANRB dan Kepala BKN soal pemecatan PNS koruptor sudah keluar sejak 13 September 2018. Awalnya, sesuai SKB penghentian PNS koruptor yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) harusnya dilakuikan hinga akhir Desember 2018.
Belum Diberhentikan
Baca Juga
Akan tetapi, hingga kini masih ada ribuan PNS koruptor yang belum diberhentikan tidak dengan hormat. Berdasarkan data terkini yang dimiliki ICW, jumlah PNS koruptor yang masih aktif sejumlah 1.466 orang.
“Data terakhir per Januari 2019 ya 1.466 PNS terpidana korupsi yang belum dipecat. Kami akan kembali meminta data terbaru kepada instansi terkait perkembangan jumlah ASN terpidana korupsi,” ujarnya.
Gugatan atas sebagian isi UU ASN diajukan sejumlah PNS lantaran merasa ada ambiguitas dalam pasal 87 ayat (4) UU ASN. Pasal itu menjadi dasar terbitnya SKB Mendagri, Men-PANRB dan Kepala BKN.
Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN mengatur, PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
MK dalam putusannya melihat tak ada yang salah dalam beleid itu. Majelis justru menilai permasalahan terdapat dalam frasa 'dan atau pidana umum' di Pasal 87 ayat (4) huruf b. Frasa tersebut dianggap kontradiktif dengan Pasal 87 ayat (2) yang menyebut PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara minimal 2 tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.
Guna menghindari ketidakpastian hukum, Mahkamah Konstitusi menghapus frasa 'dan atau pidana umum' dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN.