Kabar24.com, JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI menyoroti ketidakadilan yang dialami konsumen dalam praktik bisnis pembiayaan leasing kendaraan bermotor di Indonesia.
Berdasarkan data YLKI, pengaduan bidang jasa keuangan ke yayasan perlindungan konsumen itu terus meningkat dalam 7 tahun terakhir. Salah satunya adalah pembiayaan leasing kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat.
Pengaduan itu berupa penarikan kendaraan, kredit bermasalah yang berlebihan, tindakan tak etis juru tagih atau debt collector, dan penghitungan denda. Pada 2017, masuk 57 pengaduan leasing ke YLKI yang didominasi kasus penarikan kendaraan dan juru tagih.
Ketua YLKI Tulus Abadi tidak memungkiri bahwa pengaduan-pengaduan tersebut merupakan masalah perdata antara konsumen yang gagal bayar dengan perusahan pembiayaan leasing. Namun, dia menilai faktor regulasi turut menjadi biang kerok dari fenomena tersebut.
“Kami melihat kasus-kasus yang terjadi berangkat dari unfairness regulasi,” ujarnya saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Tulus mengatakan bisnis pembiayaan leasing seperti halnya usaha jasa lainnya diawali dengan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen. Namun, perjanjian itu kerap disusupkan dengan muatan klausula baku sepihak yang merugikan konsumen alias melanggar UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut Tulus, substansi klausula baku terlalu teknis, konten tidak dipahami, hingga tulisannya kecil dan tak terbaca. Ketika terjadi gagal bayar, konsumen selaku pemberi fidusia terpaksa merelakan kendaraanya ditarik oleh kreditur.
“Sebelum ada UU Jaminan Fidusia, penarikan kendaraan lebih sadis dari saat ini. Penarikan dilakukan secara paksa tanpa menunjukkan surat fidusia,” tuturnya.
Fidusia, menurut UU Jaminan Fidusia, adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pemilik benda bertindak sebagai pemberi fidusia, sementara penerima fidusia adalah pihak yang mempunyai piutang yang permbayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Sertifikat jaminan fidusia—yang berisi identitas pemberi dan penerima fidusia, uraian benda, nilai penjaminan, hingga nilai benda—mencantumkan kalimat ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seperti bunyi putusan pengadilan.
Karena itu, Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia menyatakan sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 15 ayat (3) beleid itu membolehkan penerima fidusia untuk menjual benda jaminan objek fidusia apabila pemberi fidusia cidera janji.
Saat ini, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Fidusia digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena diangggap merugikan konsumen. Dua materi tersebut dinilai tidak mengatur prosedur eksekusi penarikan objek jaminan fidusia.
Semestinya, menurut pemohon, prosedur eksekusi tersebut serupa mekanisme eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yakni dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan. Faktanya, pemohon mengklaim objek jaminan fidusia miliknya ditarik secara sewenang-wenang dengan dalih ‘cidera janji’ yang dinilai secara subjektif oleh kreditur.
Tulus Abadi sependapat dengan pemohon yang menggugat Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Menurutnya, eksekusi objek jaminan fidusia yang tidak memenuhi syarat sita seperti putusan pengadilan tidak adil.
Sementara itu, Veri Junaidi, kuasa hukum penggugat UU Jaminan Fidusia, mengatakan mekanisme eksekusi objek jaminan fidusia memposisikan debitur dalam posisi lemah. Menurutnya, permohonan uji materi merupakan upaya dari kliennya untuk menghasilkan regulasi yang lebih adil bagi konsumen.