Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kisah Diaspora, 'Segan' untuk Kembali

Tak jarang hidup di perantauan negeri orang lebih dipilih ketimbang pulang kampung ke negeri sendiri. Diaspora enggan mudik lantaran ada banyak halang rintang karir, sukarnya mendapat pekerjaan, hingga ancaman keselamatan.
Warga Indonesia yang bermukim di Selandia Baru mengunjungi Pasar Malam yang digelar KBRI Wellington menikmati pertunjukan musik yang ditampilkan di Wellington, Selandia Baru, Minggu (24/12/2018)./Dok. KBRI Wellington
Warga Indonesia yang bermukim di Selandia Baru mengunjungi Pasar Malam yang digelar KBRI Wellington menikmati pertunjukan musik yang ditampilkan di Wellington, Selandia Baru, Minggu (24/12/2018)./Dok. KBRI Wellington

Bisnis.com, JAKARTA -- Rumah megah itu berada di Long Island, New York, yang dikenal sebagai salah satu kawasan elit di Amerika Serikat. Bangunan rumah berbentuk joglo seolah mencerminkan kelas sosial pemiliknya yang merupakan seorang bangsawan Jawa.

Kediaman tersebut sangat mewah untuk ukuran masyarakat AS yang mayoritas hidup di apartemen, mempunyai gapura sekaligus pos keamanan. Halaman rumah rindang, ramai tumbuh pepohonan khas Indonesia, mangga, belimbing demak, juga beringin.

Nuansa Jawa bertambah kental berkat keberadaan seperangkat gamelan. Ternyata di Long Island, ada orang yang lebih Jawa dibandingkan orang yang mengaku asli keturunan Jawa.

Suatu hari, sejarawan asal Yogyakarta, Kuntowijoyo, bersama istri berkunjung ke rumah tersebut. Pemilik rumah, sebagaimana dikisahkan, memiliki nama Tio Tong Liem.

Tio adalah salah satu nama tokoh dalam novel berjudul Impian Amerika ciptaan Kuntowijoyo. Novel tersebut merupakan salah satu karya sejarawan cum sastrawan itu.

Impian Amerika memuat kisah nyata dari 30 orang perantauan di AS, yang dikemas sebagai novel. Kuntowijoyo berinteraksi dengan para diaspora Indonesia pada era 1980-1990an.

Kisah Diaspora, 'Segan' untuk Kembali

Warga Indonesia yang bermukim di Jerman merayakan 17 Agustus dengan berbagai permainan khas Indonesia di KBRI Berlin pada peringatan 17 Agustus 2018./Istimewa

Tio adalah keluarga keturunan Tionghoa yang lama menetap di luar negeri. Dia adalah pengusaha yang memiliki usaha bidang tembakau dan pabrik rokok di Semarang, Jawa Tengah.

Walau keturunan Tionghoa, Tio sangat mengagungkan budaya Jawa. Dia mencintai kebudayaan tersebut melebihi kekentalan Jawa seorang Kuntowijoyo.

Tio memiliki anak semata wayang bernama Lie. Saban tahun, Lie dikirim ke Indonesia, entah ke Bali ataupun Jogja, hanya untuk mendalami seni tari dan adat istiadat Jawa.

“Orang itu harus mencintai kebudayaan sendiri. Sebab, hanya itulah yang membedakan kita dari orang Amerika, atau Jepang, atau China,” kata Tio kepada tamunya.

Dispora semacam Tio, sebagaimana dikisahkan Kuntowijoyo, jumlahnya sangat banyak. Meski mungkin sudah tinggal lama di luar negeri, tapi mereka masih memendam banyak harapan kembali ke Tanah Air.

Namun, banyak faktor yang menyebabkan diaspora yang sarat pengalaman, keterampilan, maupun keilmuan itu mengurungkan niat kembali ke Indonesia. Dalam kasus Tio, kondisi Indonesia yang pernah dilanda kerusuhan sosial menggetarkan jiwa.

Pada saat terjadi kerusuhan yang bermula di Solo dan menjalar ke kota-kota lain, warga etnis Tionghoa memilih mengungsi secara massal. Termasuk, beberapa keponakan pengusaha rokok itu.

Meski sangat rindu dengan tanah Jawa, Tio cukup puas mengoleksi ragam produk kesenian dan kebudayaan. Untuk kembali bermukim di Indonesia, boleh jadi beratus-ratus kali dipertimbangkannya.

Nasib berbeda dialami Didi (bukan nama sebenarnya), seorang diaspora dari Jepang yang memilih balik kandang. Dia lahir dan sempat merasakan kehidupan masa kecil di Malaysia, sebelum kemudian merasakan kehidupan bersama keluarga di Australia.

Menginjak usia remaja, barulah Didi kembali ke Indonesia dan melanjutkan studi level universitas di jurusan Ilmu Tanah salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Jawa Barat (Jabar). 

Selepas menyelesaikan kuliah strata satu, dia segera meneruskan program master ke Negeri Sakura. Tak perlu lama, gelar master diraihnya dan dia kembali mendapatkan beasiswa untuk program doktoral, juga di Jepang.

Total jenderal, Didi bermukim di Jepang selama 5 tahun. Setelah menamatkan studi, dirinya disekap keraguan.

Berbagai tawaran karir di luar negeri pun berdatangan, termasuk oleh salah satu perusahaan multinasional Jepang.

“Tawarannya jadi R&D [Research and Development/Riset dan Pengembangan],” kenangnya kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.

Kisah Diaspora, 'Segan' untuk Kembali

Warga Indonesia dan keluarganya yang bermukim di Iran menggelar kegiatan bersama di Teheran, Iran./Istimewa

Datang pula opsi lainnya yang tak kalah menggiurkan, yakni melakoni karir bidang akademik di almamaternya di Jepang. Didi diajukan sebagai asisten dosen dan berpeluang menjadi dosen tetap.

Bayaran sebagai asisten pengajar itu mencapai bisa mencapai Rp30 juta per bulan jika dikonversi ke rupiah. Hitungannya, untuk level asisten, dia diberikan honor 2.000 yen per jam dan dalam sepekan bisa mengajar hingga 40 jam.

Godaan lain adalah berkarir di luar Jepang. Salah satu yang pernah melayangkan surat penawaran yaitu salah satu lembaga riset di Kanada.

“Semuanya cukup oke,” kata Didi.

Namun, rasa rindu keluarga jauh lebih tak terbendung dan dia pun memutuskan pulang ke Indonesia.

Pertimbangan lain, Didi menilai keilmuan yang dipunyai kelak bisa dikembangkan di Tanah Air. Salah satu caranya yaitu kembali pulang ke almamaternya di Indonesia.

Terkait honor, bak bumi dan langit. Jika di Jepang Didi bisa mengantongi puluhan juta rupiah, maka kini dia harus puas digaji Rp3,5 juta per bulan.

“Karena status kepegawaian, masih dosen tetap non PNS,” ungkapnya.

Lebih jauh, Didi menganggap wajar jika pada akhirnya sejawat diaspora yang telah menyelesaikan studi memilih berkarir di luar negeri. Apalagi, dari segi keilmuan, keahlian mereka sangat spesifik dan unik.

Dia menerangkan keahlian ilmu tanah serta perkayuan yang dimilikinya belum dikembangkan secara industri di Indonesia. Jalur akademiknya pun diakui sangat minim dan nyaris dianggap tak diperlukan.

Dunia akademik juga memang dipandang sukar ditembus para diaspora, tak seperti di luar negeri. Didi menuturkan berbagai persoalan administrasi dan birokrasi cenderung menjerat para lulusan luar negeri untuk mengembangkan keilmuannya.

“Belum berbicara infrastruktur penelitian, untuk meraih status dosen pun masih birokratis, berbelit-belit, sehingga orang dibuat menyerah lebih dulu, padahal secara keilmuan orang itu mumpuni. Hal ini banyak dipertimbangkan para diaspora yang enggan pulang,” paparnya.

Sukar Kembali
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko tak membantah sukarnya memboyong pulang diaspora Indonesia, terutama dari kalangan ilmuwan. LIPI menargetkan diaspora ilmuwan yang diminta mudik sebanyak 100 orang per tahun.

Kisah Diaspora, 'Segan' untuk Kembali

Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta./lipi.go.id

Pada realisasinya, LIPI hanya sanggup mendatangkan 30 orang diaspora dalam rentang 3 tahun. Padahal, dia mengatakan menarik pulang diaspora yang berguna bagi pembangunan ekonomi dan ilmu pengetahuan merupakan amanat langsung dari Presiden Joko Widodo.

LIPI menargetkan untuk menarik kembali ilmuwan dengan level karir menengah. Pasalnya, sulit membujuk ilmuwan yang sudah senior.

Para lulusan luar negeri itu telah merampungkan studi selama tiga tahun pascaprogram doktoral. Salah satu bujukan yang mempan, ungkap Handoko, selain penghasilan yang dianggap memadai, para diaspora menginginkan peluang mengembangkan keilmuan yang dimiliki.

“Mereka harus diberikan proyeksi bahwa bisa menghasilkan riset yang baik dan kesinambungan, itu yang mereka inginkan dan kita harus fasilitasi juga,” tambahnya.

Handoko mengaku menghabiskan waktu selama 4 tahun untuk membawa pulang para diaspora per tahun. LIPI pun secara khusus membentuk “tim pemburu” untuk mendata dan melobi.

“Saya turun langsung mengontak juga agar para diaspora itu yakin,” kenangnya.

Kontribusi Diaspora
Secara statistik, diaspora Indonesia berpotensi memberikan kontribusi yang besar.

Berdasarkan data indonesiandiaspora.com yang dikutip dalam laporan Diaspora Indonesia dan Dwi Kewarganegaraan dalam Perspektif Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia karya Ahmad Jazuli dari Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM pada 2017, populasi mereka menyamai jumlah penduduk di Swedia dan Austria.

Kisah Diaspora, 'Segan' untuk Kembali

Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kedua kanan) bersama Wakil Presiden ADB Bambang Susantono (ketiga kiri), CEO Credit Suisse Asia Pacific Helman Sitohang (kedua kiri), Peneliti Lee Kuan Yew School Mulya Amri (kiri), Managing Director of Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor (ketiga kanan) dan Moderator Muhammad Al-Arief (kanan) memberi paparan dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta, Sabtu (1/7/2017)./ANTARA-Rosa Panggabean

Dari sisi pendapatan, bahkan di AS, pendapatan rata-rata mereka mencapai US$59.000 per tahun. Angka itu melebihi rata-rata pendapatan warga AS yang sebesar US$49.000 per tahun.

Tercatat, dari keseluruhan diaspora yang beragam latar belakang itu, bisa mengirimkan devisa mencapai US$7 miliar atau lebih dari Rp70 triliun. Apalagi, di blantika keilmuan global, diaspora Indonesia cukup berkibar dengan bendera Ilmuwan Indonesia Internasional.

Sebagaimana dituturkan Handoko, keberadaan diaspora dalam formasi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia sangat dibutuhkan. Pasalnya, riwayat pengembangan ilmu pengetahuan di Tanah Air tampak tak memiliki kesinambungan yang menyeluruh.

Peristiwa hengkangnya ilmuwan Belanda serta tragedi 1965 merupakan kerugian besar bagi dunia keilmuwan. Dua kejadian itu disebut telah mengorbankan banyak ilmuwan yang terputus pembelajarannya.

“Hengkangnya ilmuwan Belanda sebelum kita siap itu memutus mata rantai. Disusul tragedi 1965, banyak yang dicap pengkhianat dibunuh, sedangkan yang sedang studi di luar negeri, jadi eksil,” terangnya.

Tan Malaka pernah mengatakan “Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru, jadilah Murid dari Timur yang Cerdas.” Namun, jika kembali ke Tanah Air merupakan dilema, di Barat pun ada kehidupan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper