Bisnis.com, JAKARTA -- Tiap tahun, 5 juta bayi lahir di Tanah Air. Tiap tahun pula, 90 juta dosis vaksin disuntikkan ke tubuh-tubuh mungil anak-anak.
Jika program penyehatan bagi generasi masa depan bangsa itu teledor dilakukan, maka dipastikan penderitaan massal bakal melanda.
Tanggal 24 November 2017 adalah hari yang paling dikenang Utep Sutiana seumur hidup. Alamanda Azzahra, anak perempuannya, baru berusia empat bulan.
Selaku orangtua, Utep yang berdomisili di Garut, Jawa Barat (Jabar), patuh terhadap aturan main kesehatan, anak harus mendapat imunisasi. Pemberian vaksin jatuh kepada bidan setempat.
Cairan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) lanjutan, Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) disuntikkan sang bidan. Tambahannya, Azzahra juga menelan vaksin polio tetes.
Selepas imunisasi, Alamanda Azzahra diboyong pulang. Namun, kondisi bayi itu langsung menurun.
Terlelap tanpa reaksi apapun, juga tidak mengeluarkan kotoran besar ataupun air kencing, serta suhu tubuh semakin dingin.
“Tapi keringat mengucur deras, malamnya muntah, suhu tubuh terus turun hingga bibir membiru,” kenang Utep kepada Bisnis, baru-baru ini.
Utep dan istri lekas membawa sang bayi kepada bidan yang menyuntik vaksin. Sang bidan berdalih reaksi tersebut normal, hingga akhirnya keluarga memutuskan membawa Azzahra ke rumah sakit terdekat.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Azzahra sudah tak bernyawa. Hingga tujuh hari meninggalnya sang anak, Utep baru mendapatkan penjelasan dari bidan beserta rombongan Puskesmas tempat tinggalnya.
“Mereka membawa buku panduan dan menyatakan bahwa kejadian yang menimpa anak saya itu koinsiden atau kebetulan saja,” ungkap Utep.
Dia melampiaskan isi hati dan kedukaannya dalam sebuah buku berjudul “Sebuah Memoar: Seribu Tahun Kesedihan”.
Imunisasi DT/TT untuk memberikan kekebalan anak terhadap penyakit difteri dan tetanus./Solopos-Burhan Aris Nugraha
Kasus serupa juga menimpa Al Farizqi, bayi dari ibu bernama Seliawati yang berdomisili di Yogyakarta.
Naufal, sebutan Seliawati untuk sang anak, meninggal dunia setelah mendapatkan vaksin. Hasil pemeriksaan menyatakan penyebab kematian itu adalah KIPI.
Belakangan, nama Al Farizqi diabadikan sebagai nama yayasan yang menaungi para orangtua dari anak yang diduga cedera karena vaksinasi. Seliawati, lewat Yayasan Al Farizqi, cukup aktif mengumpulkan data anak yang diduga cedera karena vaksin.
“Yayasan baru berdiri pada 2018, tapi sebagai komunitas kami ada sejak 2017,” ungkapnya.
Bukan Kampanye Anti Vaksin
Para orangtua yang merasa anak menderita cedera pascavaksinasi itu pun saling terkoneksi, mereka mengaku saling peduli dan melayangkan protes kepada pemerintah. Namun, bukan berarti kegiatan yang mereka lakukan merupakan kampanye anti vaksin.
“Kami tidak ada peran [kampanye mengganti vaksin], itu tugas para ahli. Mereka seharusnya monitoring terhadap peredaran dan penggunaan vaksin,” tegas Seliawati.
Sebagai bahan edukasi dan meningkatkan pemahaman, Yayasan Al Farizqi yang cukup aktif di Facebook, sering memberikan tautan terkait persoalan vaksin. Menurut dia, banyak referensi itu diambil dari artikel berbahasa asing karena di Indonesia sukar mendapatkan referensi yang evaluatif terhadap hal tersebut.
Lebih dari itu, Seliawati dan rekan menggalang informasi yang kemudian disusun sebagai laporan. Pada Februari 2018, laporan itu pun diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
“Sudah disposisi ke Menteri Kesehatan (Menkes), tapi hingga sekarang belum ada tanggapan,” tuturnya.
Terkait vaksinasi, terdapat beleid Peraturan Menkes (Permenkes) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Dalam beleid tersebut, terdapat pembedaan antara imunisasi program dan imunisasi pilihan.
Imunisasi program berstatus wajib bagi masyarakat. Alasannya, guna melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Adapun imunisasi program merupakan wewenang Kementerian Kesehatan (Kemenkes), imunisasi rutin, tambahan, dan imunisasi khusus. Terutama, terdapat aturan mengenai imunisasi dasar dan lanjutan yang merupakan turunan dari imunisasi rutin, seperti hepatitis B, poliomyelitis, tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, campak, penumonia, dan meningitis.
Infografis imunisasi di Indonesia./Bisnis-Radityo Eko
Prosedur Imunisasi
Dokter Arifianto, yang lebih akrab disapa Apin, pernah bertemu orangtua dari anak yang diduga cedera hingga meninggal karena KIPI. Dokter spesialis anak di RSUD Pasar Rebo, Jakarta itu menyatakan tiap kejadian KIPI haruslah melalui prosedur sebagaimana aturan berlaku.
Dalam Permenkes 12/2017, terdapat Komite Nasional (Komnas) Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (PP KIPI) yang berdiri secara independen. Komite tersebut meliputi para profesional dan pakar yang berasal dari beberapa keilmuan seperti kedokteran anak, farmakologi, onkologi, forensik, hingga penyakit dalam.
Komnas PP KIPI memiliki jejaring berjenjang hingga daerah yang disebut sebagai Komite Daerah (Komda) PP KIPI, didampingi dengan pelaksana seperti Kelompok Kerja (Pokja) KIPI di tiap tingkat daerah.
Dokter Apin menilai jika terdapat vonis suatu kejadian yang sebelumnya dianggap KIPI tapi malah dinyatakan sebagai koinsidensi, maka selayaknya prosedur ditegakkan.
“Sebab, merujuk aturan, kalau ada kejadian, harus ada investigasi yang dilakukan Dinas Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan,” terangnya.
Di sisi lain, publik kini gampang terguncang dengan banjir informasi terkait vaksinasi. Beragam informasi berseliweran, terutama jelang dan pascapelaksanaan imunisasi program.
Terkait hal itu, Dokter Apin menyatakan selayaknya tiap kejadian yang diduga KIPI langsung dikaji para pakar dan ahli.
“Sebab, jika ditafsirkan oleh masyarakat yang awam, itu bisa menyesatkan,” ucapnya.
Apin mencontohkan sempat viralnya foto seorang anak yang kulitnya memerah dan melepuh setelah mendapat vaksin MR (Measles dan Rubela), yang kemudian dianggap KIPI. Padahal, katanya, dari tampak fisik pun bagi ahli bisa menilai bahwa anak tersebut terkena HSP (Henoch Schonlein Purpura) atau peradangan pembuluh darah yang menyebabkan pendarahan di dalam kulit.
Selain itu, informasi seputar vaksin yang tidak valid pun semakin liar. Terutama, simpul Apin, informasi di ranah media sosial yang kerap kali mengaitkan laman kesehatan berbahasa asing.
“Padahal, beberapa kali memverifikasi laman tersebut, itu tidak terverifikasi, dan ahlinya pun kadang tidak pas menganalisis soal vaksin ini,” tukasnya.
Peran Pemerintah
Terkait hal itu, Apin memandang pemerintah perlu responsif memadamkan api yang seringkali memprovokasi program vaksin. Selain itu, pemerintah harus menjelaskan secara detail dan transparan tiap peristiwa yang dilaporkan masyarakat.
“Jika tidak, gelombang kampanye negatif program vaksin semakin membesar dan ini bakal mengancam kekebalan generasi mendatang,” tambahnya.
Pada sisi ini, pemerintah perlu berbenah. Hal itu pun diakui Ketua Komnas PP KIPI Dokter Hindra Irawan Satari.
Dokter Hindra mengulas pada tiap penyelidikan atau investigasi terkait KIPI memiliki beberapa penyebab. Menurutnya, KIPI bisa terjadi karena produk vaksin, sifat vaksin, ekses psikologis anak, atau koinsiden.
Pada kategori terakhir ini, terdapat beberapa indikator yang harus dipenuhi. Minimal, ujar Hindra, terdapat dua bukti, meliputi rentang waktu pemberian vaksin dengan kejadian, serta rasio kejadian.
“Vaksin membutuhkan proses untuk menimbulkan efek, misalnya 24 jam, kalau di luar itu pastinya koinsiden. Atau dilihat dari rasionya karena perhitungan kejadian itu minimal 1 berbanding 1 juta dosis, sedangkan kemarin MR kita 35 juta dosis. Berarti, terbilang aman jika ada 1-2 kejadian,” sebutnya.
Sejauh ini, laporan KIPI dan pengkajian hingga rekomendasi dikumpulkan secara rutin oleh Komnas. Namun, pelaporan itu bersifat rahasia medis kepada Menkes.
Hindra mengakui ada kelemahan dari sisi pelaksanaan lapangan. Terutama, terkait tenaga kesehatan yang menjalankan tugas vaksinasi serta sosialisasi yang belum banyak menggedor pemahaman masyarakat.
Secara nasional, penyelenggaraan vaksin ditanggung oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dalam pelaksanaan di lapangan, imunisasi program mengharuskan tenaga kesehatan tersebut melakukan penyaringan terhadap adanya kontra indikasi pada sasaran imunisasi dan sebelumnya juga harus dilakukan penjelasan secara detail terkait pelaksanaan kegiatan tersebut.
Pekerja menunjukkan vaksin yang mengandung komponen difteri sebelum didistribusikan, di Bandung, Jawa Barat, Senin (18/12/2017)./ANTARA-M Agung Rajasa
Persoalannya, siapapun yang mendatangi fasilitas kesehatan (faskes) ataupun pelaksanaan program vaksinasi dianggap setuju terhadap program tersebut. Apalagi, pada Pasal 33 Permenkes 12/2017, ada ancaman sanksi untuk kelompok atau orang yang menghalang-halangi imunisasi program.
“Pada laporan KIPI yang masuk ke Komnas, petugas pelaksana ada yang banyak melakukan kesalahan, saat menyuntiknya ataupun saat meminta penjelasan dan pemberian saran kepada sasaran imunisasi,” ungkap Hindra.
Sebab, pada batas tertentu, terdapat vaksin yang menimbulkan efek menyakitkan kepada anak jika dalam kondisi fisik atau tengah menderita sakit tertentu.
“Hal ini harus dipahami masyarakat sekaligus petugas lapangan. Persoalannya, dengan cakupan yang sangat luas, program vaksinasi dari pemerintah harus dibenahi,” simpulnya.
Lebih jauh, Hindra menegaskan Komnas PP KIPI mendukung adanya payung hukum agar negara menjamin perlindungan bagi masyarakat yang cedera karena vaksinasi.
“Selama ini, hanya menanggung biaya perawatan dan pengobatan. Harusnya ada kompensasi, di negara-negara maju sudah seperti itu,” imbuhnya.
Pada dasarnya, sebuah vaksin diformulasikan dengan memakan waktu bertahun-tahun dan melalui prosedur ilmiah yang ketat.
Meski begitu, tak menutup lubang kesalahan yang bisa berdampak fatal. Pada dimensi ini, pemerintah lah yang semestinya bertanggung jawab.