Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jejak Pelarangan Buku, Tindakan Janggal Era Digital

Buku bisa dilarang, tapi ide tetap bisa tersebar. Apalagi, kini dengan teknologi yang serba digital.
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku yang disita dari sebuah pusat perbelanjaan di Kodim 0712/Tegal, Jawa Tengah pada Desember 2018./ANTARA-Oky Lukmansyah
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku yang disita dari sebuah pusat perbelanjaan di Kodim 0712/Tegal, Jawa Tengah pada Desember 2018./ANTARA-Oky Lukmansyah

Bisnis.com, JAKARTA -- Tindakan pelarangan dan pembakaran buku telah mewarnai perkembangan peradaban manusia, bahkan hingga kini.

Peristiwa di mana buku dianggap teror nyata telah terjadi sejak lama. Pada 1557, sebagaimana diutarakan Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert dalam makalah berjudul “Librisida: Pemurnian Masyarakat Demokrasi yang Cacat”, pelarangan terhadap buku telah terjadi.

Librisida adalah istilah permusuhan terhadap buku. Dalam makalah itu, Robertus mengungkapkan bahwa pada eera Paus Paulus IV, untuk melindungi keimanan Katolik, otoritas gereja menerbitkan indeks buku terlarang.

Dalam sejarah Indonesia, sikap permusuhan terhadap buku juga merentang hingga ke masa lampau. Pelarangan terhadap karya yang dinilai bakal mengguncang “stabilitas” sudah ada sejak masa kolonial.

Lebih-lebih, sewaktu industri cetak telah memicu banyak kemunculan penerbitan. Pergerakan nasional yang anti kolonial menemukan pentasnya.

Salah satu korban sensor, bahkan mengalami pembuangan akibat karya yang ditulis, adalah Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Dia dijerat sewaktu merilis artikel “Seandainya Saya Warga Belanda”.

Jejak Pelarangan Buku, Tindakan Janggal Era Digital

Komando Distrik Militer 0809 Kediri mengamankan ratusan buku tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di sejumlah toko buku di Kediri, Rabu (26/12/2018)./Istimewa

Soewardi mencecar sikap Belanda yang pada waktu itu memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Prancis. Tepat pada 1913, dia disikat pemerintah kolonial, sedangkan penerbitan artikel dan brosurnya diberangus.

Setelah merdeka pun Indonesia tak lepas dari aksi beringas pelarangan dan pemusnahan buku. Pada era Soekarno, karya-karya penulis yang dianggap berseberangan ikut jadi korban.

Karya Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa di antaranya. Buku Pram berjudul "Hoakiau di Indonesia" terbitan 1959 masuk daftar terlarang dan penulisnya dikurung penjara selama dua tahun.

Namun, belakangan, Pram menganggap bukan Soekarno yang bersalah atas kejadian itu.

“Saya dipenjara oleh militer, bukan Soekarno,” tegasnya dalam sebuah sesi wawancara pascareformasi.

Masa Orde Baru (Orba) kemudian menjadi masa paling horor bagi dunia literasi. Sosok Pram mungkin bisa dibilang penulis paling menderita selama rezim ini.

Sebagai penulis 50 karya yang diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing, Pram merupakan sastrawan kelas dunia. Dirinya pun pernah menjadi nominator penerima hadiah Nobel.

Di balik itu semua, Pram masih menyimpan amarah terhadap kezaliman penguasa yang membakar naskah-naskahnya. Naskah yang musnah antara lain "Gadis Pantai" dan "Arus Balik".

Selepas pembubaran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pemerintah juga menyita puluhan buku, termasuk di antaranya karya Soepardo SH, Pram, Utuy T. Sontani, Rivai Apin, dan Rukiyah.

Jejak Pelarangan Buku, Tindakan Janggal Era Digital

Pramoedya Ananta Toer./Istimewa

Sistem Kekuasaan
Dalam makalahnya, Robertus Robert menyimpulkan librisida mempunyai akar masalah antara lain sistem kekuasaan yang otoritarian. Selain itu, tengah terjadi pergolakan ide atau kompetisi gagasan maupun persekongkolan kaum intelektual dan vandal.

Padahal, tulisnya, dalam paham hak asasi, prinsip Siracussa--yang diacu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)--pelarangan buku juga "bisa" dilakukan sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik.

“Inti dari sikap di atas adalah ‘pelarangan buku dibolehkan sejauh dalam rangka melindungi hak asasi’ dan dilakukan dalam kerangka negara hukum demokratis’, dengan itu artinya setiap pelarangan buku mesti diuji,” papar Robert.

Hingga era Reformasi, permusuhan terhadap buku masih kerap terjadi. Semisal, pada 2009, Kejaksaan Agung (Kejagung) menerbitkan surat pelarangan buku karya John Roosa berjudul “Dalih Pembunuhan Massal”, “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Yuliantri, serta buku-buku lainnya.

Janggal
Hal yang sama ternyata masih terjadi saat ini. Belum lama ini, Kejagung melarang buku berbau komunisme dan radikalisasi. Lembaga tersebut berjanji tak akan berhenti memburu keberadaan buku-buku tersebut.

Direktur Sosial, Budaya dan Kemasyarakatan pada Jaksa Agung Muda bidang Intelijen Kejagung Muhammad Yusuf mengatakan Badan Koordinasi Pengawasan Barang Cetakan (Bakor Pacet) masih melakukan pelacakan terhadap keberadaan buku-buku komunisme dan radikalisme yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Nanti buku itu akan ditarik untuk diamankan. Setelah itu, buku itu akan dikaji oleh tim ahli yang ditunjuk Kejaksaan, untuk menentukan apakah buku itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila atau tidak," tuturnya.

Jejak Pelarangan Buku, Tindakan Janggal Era Digital

Logo Kejaksaan Agung./Bisnis-Samdysara Saragih

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan pihaknya menyesalkan adanya usulan tersebut dari Kejagung. Menurutnya, hak untuk memperoleh pengetahuan merupakan hak yang harus dilindungi oleh negara.

Terlebih lagi, lanjut Beka, usulan Jaksa Agung bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.6-13-20/PUU-VIII/2010 yang melakukan uji materill terhadap UU No. 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan. Putusan itu menyebutkan di mana suatu tindakan penyitaan buku-buku tanpa didahului proses pengujian di persidangan merupakan tindakan yang bertentangan dengan due process of law.

Dengan kata lain, jelasnya, razia besar-besaran berpotensi mengembalikan lagi kekuasaan mutlak negara.

“Sampai pada urusan mengontrol dan menentukan bahan bacaan yang layak dibaca oleh warga negara,” ucap Beka.

Lebih janggal, razia dan pelarangan buku secara massif terjadi di era digital, masa di mana akses terhadap referensi melimpah tanpa sensor ideologi. Padahal, membaca buku bukan berarti menjadi pemuja suatu gagasan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Kahfi
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper