Kabar24.com, JAKARTA — Senator Gusti Kanjeng Ratu Hemas tidak memiliki masalah personal dengan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Oesman Sapta Odang walaupun keduanya kembali berperkara, kali ini di Mahkamah Konstitusi.
Perkara tersebut adalah sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) antara pimpinan DPD periode 2014-2017 yang diwakili Hemas dan Farouk Muhammad dengan pimpinan DPD periode 2017-2019 yang diwakili oleh Oesman Sapta Odang (OSO).
“Ini bukan masalah personal antara Bu Hemas dan Pak OSO. Buktinya pimpinan DPD lengkap ajukan sengketa, ada Pak Farouk,” ujar Irmanputra Sidin, kuasa hukum Hemas dan Farouk, usai sidang pemeriksaan pendahuluan SKLN di Jakarta, Senin (21/1/2019).
Hemas, Farouk, dan Irman Gusman dikukuhkan sebagai pimpinan DPD berdasarkan SK DPD No.02/DPD RI/I/2014-2015 tanggal 2 Oktober 2014. Namun, Irman berhenti di tengah jalan karena tersangkut kasus tindak pidana korupsi. Dia kemudian digantikan oleh Mohammad Saleh pada 11 Oktober 2016.
Irmanputra mengatakan Saleh tidak ikut mengajukan gugatan karena masa jabatannya memang hanya sampai 2017. Berbeda dengan Hemas dan Farouk, dia mengklaim masa jabatan keduanya baru berakhir pada 2019.
Menurutnya, jabatan Hemas dan Farouk diambil alih oleh OSO dkk dengan cara ilegal. Alasannya, Peraturan Tata Tertib (Pertatib) DPD RI No. 1/2017 yang memangkas masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Namun, putusan MA tersebut tidak dipatuhi sehingga melahirkan pimpinan baru dengan komposisi Ketua DPD Oesman Sapta, Wakil Ketua Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis. Hemas dan Farouk yang tidak menerima kemudian mengajukan permohonan fiktif positif di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan hasil tidak dapat diterima. Kasasi terhadap putusan PTUN Jakarta itu pun kandas di MA pada 5 September 2018.
MA dalam pertimbangan putusannya menganggap sengketa antara Hemas dan OSO merupakan perselisihan ketatanegaraan atau sengketa kewenangan konstitusional. Karena itu, Hemas memilih MK sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihannya dengan OSO.
Irmanputra menilai pengambilalihan kursi pimpinan secara tidak sah otomatis menimbulkan pengambilalihan kewenangan. DPD, kata dia, tidak mungkin menjalankan kewenangannya tanpa pimpinan.
Kendati OSO dkk secara de facto berkuasa, kewenangan DPD hanya bisa dilaksanakan di bawah kepemimpinan Hemas dan Farouk. Irmanputra pun menganggap kliennya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan SKLN meskipun pihak yang bersengketa berada dalam satu lembaga.
“Ketika terjadi kudeta maka menciptakan dua ‘lembaga’. Jadi tidak harus sengketa itu dua lembaga berbeda,” katanya.
Meski demikian, MK tidak serta-merta menerima perkara tersebut untuk dilanjutkan ke tahap sidang pemeriksaan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan para hakim masih perlu mendalami kewenangan MK untuk menangani perkara itu maupun kedudukan hukum para pemohon.