Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki justifikasi hukum yang kuat untuk tidak memasukkan nama Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang dalam daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019.
Dengan justifikasi itu, para komisioner KPU diyakini tidak dapat dijerat dengan pelanggaran kode etik atau tindak pidana. Karena itu, KPU diminta tetap merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi ihwal permohonan uji materi UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang melarang pengurus parpol menjadi senator.
Dorel Almir, kuasa hukum pemohon uji materi UU Pemilu, mendukung sikap KPU menggugurkan Oesman Sapta bila tidak jua mengundurkan diri dari jajaran kepengurusan Hanura.
Menurutnya, KPU memang harus memilih di antara putusan MK, Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang saling kontradiktif.
“KPU condong ke putusan MK. Ada alasan pembenar. Posisi KPU aman saya kira,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (17/12/2018).
Dorel menyadari sikap KPU itu berpotensi mendapatkan penolakan dari kubu Oesman Sapta Odang atau OSO. Bahkan, tim pengacara Ketua DPD itu berniat melaporkan para komisioner KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Polri.
Menurut Dorel, tudingan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak tepat. DKPP, imbuh dia, diketuai oleh mantan Hakim Konstitusi Harjono yang mengerti pertimbangan KPU tatkala memilih mengadopsi putusan MK.
Sementara itu, tuduhan pelanggaran tindak pidana pun tidak cukup kuat menjerat komisioner KPU. Menurutnya, ada alasan pembenar bagi komisioner KPU untuk mengambil keputusan sehingga tidak melanggar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Jadi mungkin laporan di DKPP dan Polri diterima, tapi tak ada tindak lanjut. KPU jangan takut. Tunduk pada putusan MK adalah pilihan yang aman dan mantap,” ujarnya.
Klien Dorel, Muhammad Hafidz, merupakan pemohon pengujian Pasal 182 huruf l UU Pemilu yang awalnya mengatur syarat calon anggota DPD tidak boleh memiliki ‘pekerjaan lain’. Frasa ‘pekerjaan lain’ itu kemudian dinyatakan dalam Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 ‘mencakup pula pengurus parpol’.
KPU lantas merespon putusan itu dengan mewajibkan calon senator yang menjadi fungsionaris parpol mengundurkan diri seperti tercantum dalam Pasal 60A PKPU No. 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD.
Celakanya, OSO menolak melepas jabatan Ketua Umum DPP Hanura sehingga namanya tidak masuk dalam daftar calon tetap (DCT). Bakal calon anggota DPD dari Kalimantan Barat itu lantas menggugat Pasal 60A PKPU 26/2018 ke MA.
Melalui Putusan MA No. 65 P/HUM/2018, permohonan OSO dikabulkan. Bahkan, lembaga peradilan di bawah MA, PTUN Jakarta, memerintahkan KPU untuk memasukkan nama OSO dalam DCT.
Pada perkembangan teranyar, KPU memberikan batas waktu sampai 21 Desember bagi OSO untuk menyerahkan surat bukti pengunduran diri dari jabatan Ketua Umum Hanura. Sikap KPU dinilai tim penasihat hukum OSO berpotensi melanggar kode etik penyelenggara pemilu dan tindak pidana.