Bisnis.com, TANJUNGPINANG - Menjelang Pemilu 2019, pemetaan wilayah menjadi salah satu perhatian penting.
Pengalaman pemilu sebelumnya menempatkan Batam sebagai daerah paling rawan konflik Pemilu 2019 di Provinsi Kepulauan Riau.
"Batam menjadi daerah paling rawan, karena sekitar 60% pemilih berdomisili di kota industri itu, dan 60% anggota DPRD Kepri berasal dari Batam," ujar pengamat politik Bismar Aryanto kepada Antara di Tanjungpinang, Minggu (30/9/2018).
Bismar mengatakan berbagai kasus kepemiluan pernah terjadi, yang melibatkan penyelenggara pemilu, mulai dari KPU dan Bawaslu hingga jajaran di bawahnya.
Dari berbagai kasus hukum dan sengketa pemilu di Batam, maka integritas penyelenggara pemilu sangat dibutuhkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
"Untuk mengawal pemilu terlaksana secara maksimal, maka perlu peran pengawasan dari berbagai pihak, termasuk aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat. Objek yang diawasi adalah peserta dan penyelenggara pemilu," ucap mantan dekan FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang ini.
Menurut dia, peserta pemilu akan lebih fokus mengatur strategi memenangkan pemilu di Batam dibanding daerah lainnya, sebab memenangkan pesta demokrasi di kota itu sama saja memenangkan pemilu di Kepri.
Dari konteks perebutan suara pemilih di Kepri, terutama di Batam, maka aspek yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari pengalaman pesta demokrasi di Kepri, DPT potensial menimbulkan sengketa pemilu.
Fokus penyelenggara pemilu dalam persoalan itu sebenarnya cukup sederhana yakni penguatan pendataan pemilih, jangan sampai ada orang yang berhak menggunakan hak pilih tetapi tidak mendapat kesempatan menggunakan hak pilih.
"Begitu pula sebaliknya. Yang paling penting hak warga sebagai pemilih yang dilindungi konstitusi dan memenuhi persyaratan administrasi dapat diakomodir," ujarnya.
Bismar mengemukakan, Batam merupakan daerah tujuan pencari kerja dari berbagai daerah, apalagi saat ini kondisi perekonomian di kota itu mulai membaik. Dikhawatirkan terjadi mobilisasi pemilih di kawasan tertentu sehingga menimbulkan permasalahan.
"Mobilisasi pemilih tidak dapat terjadi kalau penyelenggara pemilu bekerja secara maksimal," tegasnya.
Kerawanan pemilu dalam bentuk politik uang juga potensial terjadi. Namun, bentuknya adalah pemberian barang yang nilainya melebihi ketentuan yang berlaku.
Peserta pemilu, terutama caleg, memahami pemberian uang tunai kepada pemilih tidak efektif, sehingga kemungkinan dikonversi dalam bentuk barang.
"Kalau pemberian uang hanya Rp60.000, dinilai terlalu kecil, tidak dirasakan, dan kurang berdampak, sehingga kemungkinan dikonversi dalam bentuk barang yang dapat dimanfaatkan," tuturnya.
Terkait konflik di internal partai, Bismar mengemukakan hal itu biasa terjadi, terutama dalam merebut suara terbanyak. Persoalan ini dapat dicegah kalau partai juga memperkuat pengawasan di TPS.
"Kalau pergesekan antarpartai saat kampanye akbar, saya pikir kampanye seperti itu tidak digunakan lagi karena membutuhkan biaya yang besar, kurang efektif. Kampanye yang efektif dan kerap digunakan dalam bentuk pertemuan terbatas," ucapnya.