Kabar24.com, JAKARTA — Mantan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina Muhammad Helmi Kamal Lubis membutuhkan putusan tafsir mengenai kewenangan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai bukti baru permohonan kasasi kasusnya di Mahkamah Agung.
Helmi telah diputus bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dana DP Pertamina. Adapun, temuan penyimpangan di lembaga itu bermula dari hasil audit investigasi BPK yang ditindaklanjuti dengan penyidikan Kejaksaan Agung.
Namun, Helmi memandang BPK tidak berwenang mengaudit DP Pertamina karena bekas institusinya itu bukan pengelola keuangan negara. Karena itulah dia mengajukan permohonan uji materi Pasal 14, Pasal 52 ayat (1), dan Pasal 52 ayat (4) UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal 14 mengatur ketentuan audit laporan keuangan dana pensiun oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh dewan pengawas. Pasal 52 ayat (1) mencantumkan klausul penyampaian laporan keuangan yang telah diaudit kepada Menteri Keuangan (Menkeu). Adapun, Pasal 52 ayat (4) mengatur kewenangan Menkeu untuk menunjuk akuntan publik dan/atau aktuaris dalam rangka pemeriksaan langsung terhadap dana pensiun.
Ahmad Bay Lubis, kuasa hukum Helmi Kamal dari Lubis-Agamas and Partners, menjelaskan kliennya merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan masuknya BPK sebagai auditor DP Pertamina. Pada saat yang sama, pemohon menyadari BPK pun merasa berhak mengaudit DP Pertamina sebagai entitas dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN).
Untuk itu, kata Ahmad, MK perlu turun tangan atas adanya ‘perselisihan tafsir’ antara UU Dana Pensiun dengan UU No. 15/2006 tentang BPK. Pemohon pun tidak meminta MK membatalkan tiga pasal UU Dana Pensiun, tetapi hanya memohonkan peran BPK sebagai pengaudit dana pensiun BUMN diakhiri.
“Menurut kami jelas bahwa kewenangan pemeriksaan laporan keuangan dana pensiun adalah akuntan publik, bukan BPK,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (11/7/2018).
Bila MK mengabulkan permohonan, Ahmad meyakini potensi adanya kasus-kasus hukum dana pensiun lain tidak terjadi. Meskipun demikian, dia mengakui putusan MK, bila nantinya gugatan dikabulkan, bisa menjadi bukti baru bagi permohonan kasasi Helmi Kamal di MA.
“Bahwa nanti akan berpengaruh dalam perkaranya tergantung Hakim Agung,” kata Ahmad.
Penyimpangan dana kelolaan DP Pertamina periode 2013-2015 saat dipimpin Helmi Kamal adalah terkait investasi di PT Sugih Energy Tbk (SUGI). Berdasarkan hasil penyidikan Kejagung, keputusan Helmi Kamal pada 2014 tersebut diawali komunikasinya dengan pemilik Ortus Holding, Edward S. Soeryadjaya. Ortus Holding merupakan pemegang saham pengendali SUGI.
Saham milik Ortus Holding dibeli DP Pertamina senilai Rp601 miliar melalui PT Millenium Danatama Sekuritas. Atas permintaan Ortus Holding, uang pembelian saham dari DP Pertamina itu dipakai buat membayar kewajiban pinjaman Ortus Holding kepada sejumlah kreditor.
Helmi Kamal merupakan tersangka pertama kasus korupsi tersebut pada pertengahan 2017, menyusul status yang sama disematkan kemudian kepada Edward Soeryadjaya. Pada sidang putusan Pengadilan Tipikor 29 Januari 2018, Helmi dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman penjara selama 7 tahun, denda Rp600 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp53,41 miliar.
Adapun, Edward Soeryadjaya masih menunggu vonis karena persidangannya masih berjalan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sidang perdana telah dimulai pada 2 Mei 2018.