Kabar24.com, JAKARTA — Seorang bekas bakal calon bupati meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menganulir larangan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali dalam proses sengketa pencalonan kepala daerah.
UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) menegaskan bahwa upaya hukum sengketa pencalonan kepala daerah berakhir pada kasasi di Mahkamah Agung. Kasasi dilakukan terhadap putusan banding di pengadilan tinggi tata usaha negara atau PTTUN.
Berbeda dengan sengketa perdata lainnya, rezim sengketa pencalonan pilkada tidak mengadopsi upaya hukum lanjutan setelah kasasi. Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada mengatur bahwa putusan kasasi di MA bersifat final dan tidak dapat dimintai peninjauan kembali (PK).
Saleh, kuasa hukum bakal calon bupati Garut Agus Supriadi, mengatakan larangan PK telah merugikan hak konstitusional kliennya untuk mendapatkan keadilan setelah kasasi. Padahal, menurut dia, hakim agung pemutus kasasi berpotensi khilaf saat menjatuhkan vonis sehingga mesti dibuka kesempatan untuk mengajukan PK.
"Hakim adalah manusia biasa yang tidak akan luput dari kekeliruan. Maka sarana koreksi haruslah dibuka pintu selebar-sebarnya," katanya dalam berkas permohonan uji materi yang diajukan di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Pangkal persoalan permohonan uji materi UU Pilkada ke MK bermula ketika Agus Supriadi mendaftar sebagai peserta Pemilihan Bupati Garut 2018. Namun, pemohon digugurkan oleh Komisi Pemilihan Umum Garut dengan alasan berkas pencalonannya tidak memenuhi syarat.
Agus merupakan bekas terpidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Faktanya, lembaga penyelenggara pilkada itu beralasan tidak menerima surat keterangan bahwa Agus telah selesai menjalani pembebasan bersyarat.
Batal ditetapkan sebagai kontestan pilkada, Agus lantas menggugat KPU Garut ke Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Garut, tetapi ditolak. Dia pun mengajukan banding ke PTTUN Jakarta dengan amar putusan menolak gugatan.
Akhirnya, Agus melayangkan upaya hukum kasasi atas putusan PTTUN Jakarta tersebut. Di lembaga kehakiman tertinggi itu pun lagi-lagi upaya Agus kandas.
Namun, pemohon merasa ada keganjilan karena MA mengganggap Agus tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan kasasi. Amar putusan MA menyatakan permohonan kasasinya tidak dapat diterima sehingga materi gugatan tidak diperiksa oleh hakim. Sebaliknya, PTTUN Jakarta menyatakan Agus memiliki kedudukan hukum mengajukan gugatan kendati dalilnya ditolak hakim.
Saleh menilai perbedaan amar putusan MA dengan PTTUN Jakarta disebabkan kekeliruan hakim memaknai definisi 'bakal pasangan calon' atau 'bakal calon'. Lantaran kliennya dianggap MA masih bakal pasangan calon maka Agus tidak memiliki hak gugat dalam sengketa.
"Saat ini pemohon tidak lagi memiliki kesempatan lainnya dalam memperjuangkan keadilan. Oleh karena itulah pemohon mengajukan uji materi Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada agar di kemudian hari tidak ada lagi pihak yang dirugikan karena ketiadaan upaya hukum PK," ujar Saleh.