Bisnis.com, JAKARTA - Praktik korupsi di daerah yang menjadi sistem perizinan sebagai lahan harus disikapi pemerintah pusat.
Pemerintah diminta memperbaiki sistem perizinan daerah guna menekan korupsi pejabat daerah demi mempermudah pelaku usaha melakukan ekspansi maupun pengembangan bisnis.
ICW mencontohkan Bupati Mojokerto Mustofa Kemal Pasa yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga mempersulit izin sekitar 11 perusahaan. Diduga akibat dipersulit, 11 perusahaan tersebut memberikan gratifikasi kepada Mustofa agar usahanya dapat beroperasi di Mojokerto.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas di Jakarta, Minggu (6/5/2018(, mengatakan korupsi tidak hanya terkait belanja barang pemerintah, tapi juga terkait perizinan.
Menurutnya, saat ini perizinan sudah dipangkas namun tidak transparan sehingga menjadi celah pejabat daerah melakukan korupsi.
"Perizinan dibuat lama dengan harapan nanti ada fee dan tip dan segala macam. Jadi sekarang pilihannya mengikuti cara yang berputar-putar atau bertele-tele dan lama, atau mengikuti pola permainan mereka [pejabat daerah]," kata Firdaus.
Baca Juga
Menurut Firdaus, dalam menerapkan aksinya, pejabat daerah tidak pandang bulu, tidak hanya perusahaan swasta, perusahaan BUMN pun diperlakukan seperti itu.
"Jangankan investor swasta, investor negara atau BUMN, kalau mau ke daerah mau melakukan pembebasan ini dan itu pasti dihambat. Tidak ada gunanya izin yang tadinya ratusan dipangkas menjadi tinggal sedikit tapi tertutup, sehingga menciptakan korupsi yang baru," katanya.
Karena itu, katanya, ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam memperbaiki pengelolaan kewenangan perizinan secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab.
Jika dibiarkan terus, akan semakin banyak bupati yang bakal menjadi tersangka kasus korupsi, kata Firdaus.
ICW mencatat pada 2017 ada 30 orang kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi, mayoritas merupakan bupati dan wakil bupati, yang jumlahnya mencapai 24 orang, sedangkan sisanya lima walikota/wakil wali kota, dan satu orang gubernur.
Selain itu, lanjut Firdaus, otoritas bursa juga harus memiliki mekanisme pengaduan untuk perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa, sebab saat ini belum ada mekanisme bagi emiten bursa jika perizinannya dihambat pejabat di daerah.
"Kalau anggota bursa perizinannya dihambat, harus mengadu ke mana. Nah ini harus ada mekanisme peniup pluit atau mekanisme aduan, sehingga proses bisnisnya tetap berjalan. Pengawasan dan pelaporan ini juga harus diberikan kepastian dan kekuatan hukum," katanya.
KPK menetapkan Bupati Mustofa sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengurusan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto, Jatim, tahun 2015.
Selain menjadi tersangka penerimaan suap, Mustofa juga dijerat penerimaan gratifikasi. Mustofa diduga melakukan perbuatan pidana bersama dengan Zainal Abidin selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemkab Mojokerto 2010-2015.
Mustofa bersama Zainal diduga menerima fee dari proyek-proyek di lingkungan Pemkab Mojokerto selama kurun beberapa tahun.
Tidak hanya oleh KPK, sejatinya Mustofa juga telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada 2014.
TPPU Mustofa terkait gratifikasi yang dia terima dari Direktur PT Cipta Inti Parmindo (CIP) Yudi Setiawan, terpidana kasus kredit fiktif Bank Jatim Cabang HR Muhammad Surabaya Rp 52,3 miliar pada 2013. Namun status tersangka Mustofa oleh Polri tersebut hingga saat ini tidak jelas juntrungannya.
Hal senada diungkapkan Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franciscus Welirang.
Ia meminta pemerintah semakin memperkuat pengawasan terhadap mekanisme pemberian izin usaha karena banyak terjadi penyimpangan oleh oknum pemerintah yang akhirnya merugikan dunia usaha seperti terjadi di Mojokerto.
"Sistem perizinan sudah seharusnya menggunakan mekanisme online. Hal ini dapat mengurangi risiko penyalahgunaan seperti yang terjadi [di Mojokerto]," ujar Franky.
Franky juga meminta para penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kasus yang diduga melibatkan perusahaan publik. Langkah ini penting untuk dilakukan agar penanganannya tidak menimbulkan masalah kepada pasar modal.
"KPK juga mesti memahami dan melindungi kepentingan investor dan pelaku pasar modal lainnya, karena itu koordinasi KPK dan OJK menjadi penting," katanya.