Kabar24.com, JAKARTA – Dugaan penggunaan akun Twitter oleh seorang tersangka pembunuhan di Jepang untuk memancing korban ke apartemennya telah mendorong pemerintah dan platform media sosial tersebut untuk mengatur penggunaan akun Twitter di Jepang.
Sebelumnya, polisi menangkap seorang pria berusia 27 tahun setelah bahwa mereka menemukan sembilan mayat yang di rumahnya di Zama, sekitar 40 kilometer barat daya Tokyo.
Pelaku bernama Takahiro Shiraishi ini memikat korbannya dengan menggunakan hashtag yang ditujukan pada orang-orang yang berkeinginan untuk bunuh diri. Dia mengakui membunuh kesembilan tersebut, termasuk seorang gadis berusia 15 tahun, menurut media setempat.
Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mengatakan bahwa pemerintah akan membentuk sebuah komite khusus untuk menciptakan sebuah rencana agar mencegah terjadinya kekambuhan pada akhir tahun.
Pemerintah tahun lalu merevisi undang-undang anti penguntitan agar mencakup posting pada media sosial setelah seorang wanita diserang oleh penyerang yang dengan pisau. Penyerang tersebut sebelumnya telah mengancamnya lewat Twitter.
Chief Executive Officer Twitter Inc. Jack Dorsey mengomentari kasus tersebut dalam sebuah kunjungan ke Tokyo minggu ini dan menginginkan agar media soialnya digunakan dengan cara yang positif dan sehat. "Sangat disayangkan, sangat menyedihkan," ungkapnya, seperti dikutip Bloomberg.
Baca Juga
Dorsey juga menginginkan agar Twitter digunakan dengan "cara positif dan sehat,". Namun, ia mengakui masih ada kesulitan dalam memberantas semua postingan tweet berbahaya yang terkait dengan bunuh diri.
Juru bicara Twitter wilayah operasional Jepang mengatakan perusahaan tersebut sering berkomunikasi dengan polisi dan pihak terkait lainnya, dan berencana untuk melanjutkan diskusi mengenai keselamatan.
Awal bulan ini, Twitter memperjelas panduan tentang apa saja yang diizinkan diposting di Twitter dan menyebutkan bahwa setiap tulisan yang mendorong atau membujuk bunuh diri dan merugikan diri sendiri bertentangan dengan kebijakan perusahaan.
Kaori Hayashi, profesor media dan jurnalisme di Universitas Tokyo, mengatakan bahwa Jepang telah lama mengabaikan perdebatan tentang bagaimana kebebasan berekspresi berhubungan dengan media sosial.
Meski pemerintah meminta perusahaan seperti Twitter dan Facebook Inc. untuk memberlakukan pembatasan bahasa, Hayashi mengatakan tidak realistis untuk mengaturnya secara langsung. "Anda tidak bisa menghentikan orang berbicara begitu saja," katanya..