Kabar24.com, JAKARTA – Buntut insiden penolakan Panglima TNI, pemerintah diminta meninjau ulang kebijakan bebas visa untuk pelancong asal Amerika Serikat.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Yusril Ihza Mahendra mengharapkan pemerintah dapat bersikap tegas menyikapi insiden diplomatik tersebut. Salah satu wujudnya dengan kembali menerapkan asas resiprokal atau timbal-balik dalam kebijakan visa.
“Kalau mereka kasih bebas visa ya kita kasih juga. Kalau tak kasih kita tidak juga,” katanya usai sidang uji materi Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (24/10/2017).
Yusril mengaku terusik dengan kebijakan bebas visa yang diberikan pemerintah kepada puluhan negara, termasuk AS. Sebaliknya, pelancong asal Indonesia masih tetap mengajukan aplikasi visa apabila hendak berkunjung ke negara-negara tersebut.
“Kita datang ke Kedubes Australia atau AS, antri di tepi jalan. Kadang-kadang merasa tak enak seolah-olah kita ini bukan warga terhormat di negeri kita sendiri,” ujarnya.
Yusril mengatakan dirinya menganut asas resiprokal sejak menjadi Menteri Kehakiman di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pada masanya, ada 18 negara yang diberikan bebas visa ketika berkunjung ke Tanah Air.
Baca Juga
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo batal terbang ke AS, Sabtu (21/10/2017), hanya beberapa saat menjelang lepas landas maskapai Emirates pukul 17.50 WIB. Padahal, Panglima TNI sudah mendapatkan visa dan berada di bandara.
Larangan itu berasal dari US Custom and Border Protection yang disampaikan Emirates kepada Gatot. Tujuan Gatot ke AS adalah memenuhi undangan Komandan Gabungan Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS Jenderal Joseph F. Dunford Jr untuk menghadiri Chiefs of Defence Conference on Country Violent Extremist Organizations (VEOs) di Washington D.C pada 23-24 Oktober 2017.
“Karena rasa hormat Panglima TNI membalas surat tersebut dan berkenan hadir,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Wuryanto saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Minggu (22/10/2017).
Kedubes AS sendiri telah menyatakan permintaan maaf atas kejadian tersebut. Namun, pemerintah tetap menuntut penjelasan pelarangan Panglima TNI yang diundang mewakili pemerintah Indonesia.