Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo kembali menguji materikan pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilu terkait ambang batas presiden atau presidential threshold.
Gugatan itu dilayangkan melalui penasihat hukumnya Refly Harun dan Salman Darwis. Dalam surat permohonan yang diserahkan Refly ke MK awal pekan ini, Senin (13/12/2021), Gatot punya perbedaan mendasar dibandingkan dengan pemohon sebelumnya.
“Secara sosiologis pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden mendapatkan penolakan dari mayorita elemen bangsa dan memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying),” tulis surat tersebut.
Dalam sebagian pokok permohonan yang dikutip bisnis.com, Refly menilai pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6 ayat 2, pasal 6A ayat 2, dan pasal 6A ayat 5 UUD 1945.
Pada UU 7/2017 tertera, “Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persendari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”
Sedangkan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 berbunyi, “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan UU.”
Baca Juga
Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 tertulis “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Terakhir pada pasal 6A Ayat 5 UUD 1945 tertera, “Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU.”
Dalam menafsirkan pasal 6A ayat 2, Refli menjelaskan bahwa tidak akan terlepas dari penafsiran MK yang tertuang pada putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 dan No. 53/PUU-XV/2017 yang menggunakan penafsiran sistematif. Dengan begitu, presidential threshold bersifat open legal policy.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan pemberlakuan presidential threshold merupakan pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat 5. Refly berpendapat penafsiran tersebut tidak tepat.
“Karena ketentuan Pasal 6A Ayat 5 a quo berkenaan tata cara. Sedangkan aturan presidential treshold merupakan salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, bukan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden,” terangnya.
Oleh karena itu, persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden seharusnya digolongkan sebagai close legal policy. Sebab, UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan.
Sedangkan berdasarkan preseden putusan MK, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945 atau didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Refly berpandangan ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut. Alasannya, pasal 6A ayat 2 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden.
Lalu Refli mengutip pernyataan dari beberapa tokoh nasional yang intinya menolak ambang batas presiden. Dari dua mantan Ketua MK Hamdan Jimly Asshiddiqie dan Hamdan Zoelva sampai Ketua KPK Firli Bahuri satu pandangan. Oleh karena itu, Gatot melalui Refly memohon agar MK menyatakan ambang batas presiden sudah tidak relevan lagi.
Dalam petitum, Refli meminta agar MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Lalu, menyatakan pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex aequo et bono,” tutup Refly dalam petitum.