Kabar24.com, JAKARTA--Lembaga Bantuan Hukum Jakarta segera mengirimkan surat permohonan eksekusi putusan Mahmakah Agung tentang swastanisasi air Pemprov DKI Jakarta.
Tujuannya, agar semua pihak termohon kasasi melaksanakan isi putusan yang telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
LBH Jakarta mewakili Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) selaku pemohon kasasi.
Sementara itu, termohon kasasi dalam gugatan pengelolaan air ini antara lain PT AETRA Air Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Menteri Keuangan.
Adapun turut termohon kasasi yaitu Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI Jakarta.
Kuasa hukum KMMSAJ dari LBH Jakarta Matthew Michele Lenggu mengatakan pihaknya akan menyerahkan surat permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca Juga
PN Jakpus adalah pengadilan pertama yang menangani perkara gugatan swastanisasi air. Selanjutnya, perkara ini berlanjut ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hingga ke Mahkamah Agung.
"Surat permohonan eksekusi sudah kami rancang dan akan kami berikan ke PN Jakpus secepatnya," katanya kepada Bisnis, Minggu (22/10/2017).
Pihaknya ingin para termohon kasasi dapat menjalankan putusan MA di pengujung tahun ini.
Dalam putusan tersebut, MA memerintahkan Pemprov DKI untuk menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI Jakarta. Putusan MA juga mengembalikan pengelolaan air minum di DKI Jakarta sesuai Perda No 13/1992 dan peraturan perundangan lainnya.
MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta yaitu PT AETRA dan PT Palyja.
Penyerahan kewenangan tertuang dalam wujud perjanjian kerja sama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku hingga saat ini.
Matthew menegaskan pihaknya menolak segala bentuk restrukturisasi kerja sama antara Pemprov dan perusahaan swasta. Pasalnya, MA sudah menutup upaya swastanisasi air.
Adapun air harus sepenuhnya dikelola negara, seperti diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pasal itu berbunyi "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
"Kami menolak dengan tegas adanya pembaruan kontrak kerja sama yang diklaim sedang dikerjakan pihak tergugat," ungkapnya.
Kuasa hukum KMMSAJ lainnya Arif Maulana mengakui perjalanan untuk meraih keadilan masih panjang meksipun putusan dari MA bersifat inkrah. Pasalnya, tergugat masih bisa menempuh upaya Peninjauan Kembali (PK) dan litigasi internasional.
Kendati begitu, akan menjadi preseden buruk apabila pemeritah membangkang terhadap putusan MA.
"Kalau tidak eksekusi putusan maka pemerintah melanggar putusan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi hingga dasar negara UUD 1945," sebutnya.
Dia mengaku akan terus mengawal praktik pengelolaan air di DKI Jakarta.
KMMSAJ juga akan mengikuti perkembangan eksekusi putusan dan segala bentuk restukturisasi kebijakan pengelolaan air.
Kabiro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhanah berujar masih mempelajari putusan MA sebelum melakukan eksekusi. Pasalnya hal ini harus didiskusikan dengan gubernur dan wakil gubernur yang baru saja dilantik, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Sementara itu, Direktur Utama PT Aetra Air Jakarta Mohamad Selim menuturkan masih mempertimbangkan untuk PK atau tidak. Pihaknya sedang mempelajari putusan MA secara menyeluruh.
Kebimbangan ini muncul lantaran dia menganggap PT Aetra bukan subjek utama dari putusan MA.
"Putusan MA itu ditujukan untuk tergugat bukan turut tergugat [Aetra]," katanya kepada Bisnis.
Dengan begitu, lanjut dia, perjanjian kerja sama dengan PT PAM Jaya, selaku perusahaan milik Pemprov DKI, tidak dibatalkan.
Apalagi pihaknya telah melalukan penandatanganan nota kesepahaman restrukturisasi yang telah dilakukan pada bulan lalu. Restrukturisasi kerja sama itu disebut akan memperluas kewenangan PT PAM Jaya.
Selim menambahkan kesepakatan restrukturisasi diharapkan rampung pada Maret 2018.