Bisnis.com,JAKARTA- Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia menilai terbentuknya Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi Polri merupakan komitmen nyata lembaga tersebut untuk memberantas korupsi.
Adery Ardhan Saputro, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) mengatakan tindakan Polri tersebut semata-mata merupkaan pilihan politik yang wajar dan merupakan kewenangan penuh dari institusi bersangkutan.
“Namun demikian, MaPPI FHUI menolak jika pembentukan densus justru menggabungkan fungsi penyidikan dan penuntutan dalam satu atap. Terlebih pula, jika densus yang dikepalai dari institusi Polri yang secara tidak langsung meletakkan institusi Kejaksaan Agung berada di bawah bayang-bayang institusi Bhayangkara,” ujarnya, Minggu (15/10/2017).
Hal ini, lanjutnya, bertentangan dengan prinsip Kejaksaan sebagai dominus litis yaitu pengendali proses perkara dari tahapan awal penyidikan sampai dengan pelaksanaan proses eksekusi suatu putusan.
Oleh karenanya, menurutnya, jika densus tipikor yang menggabungkan penyidikan dan penuntutan di bawah koordinasi dari Kepolisian maka dapat diasumsikan bahwa penuntut umum yang seharusnya mempunyai kewajiban melakukan pengawasan secara horisontal terhadap penyidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Penuntut umum yang seharusnya secara objektif dapat mengawasi pelaksanaan penyidikan menjadi bermasalah, ketika alasan dari penuntut umum tersebut adalah anggota Polri bintang dua yang notabene secara fungsional merupakan penyidik pula,” tambahnya.
Baca Juga
Menurutnya, dengan pengawasan penuntut umum yang tidak berjalan dengan semestinya, maka penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan densus akan rentan kriminalisasi dan pelanggaran prosedural hukum acara pidana.
Bahkan struktur ini, paparnya, semakin memperkuat serta memperbesar kewenangan Kepolisian tanpa pengawasan yang kuat dan menimbulkan potensi kesewenang-wenangan.