Kabar24.com, JAKARTA- Mahkamah Agung perlu menyusun panduan bagi para hakim dalam menelaah berbagai bukti terkait permohonan praperadilan atas penetapan status tersangka.
Ganjar Laksamana, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatkaan panduan tersebut bisa menjadi rambu-rambu bagi para hakim dalam menafsirkan suatu permohonan terkait penetapan status tersangka beserta berbagai bukti yang telah dilampirkan oleh pemohon maupun termohon.
“Mahkamah Agung perlu membuat petunjuk itu dan tugas masyarakat sipil, termasuk akademisi adalah mendorong hal itu,” ujarnya dalam diskusi tentang korupsi di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Apa yang diungkapkan olehnya berkaitan erat dengan putusan sidang praperadilan Setya Novanto di mana hakim Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan sehingga Ketua DPR tersebut dinyatakan terbebas dari status tersangka.
Salah satu alasannya adalah barang bukti yang digunakan berasal dari penyidikan perkara lain.
Pada kesempatan itu, pihaknya juga mendorong KPK untuk kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka menggunkan berbagai barang bukti, termasuk berbagai bukti yang diabaikan dan ditolak oleh hakim praperadilan, termasuk informasi mengenai pemberian arloji seharga US$135.000 dari Johannes Marliem kepada Setya Novanto.
Baca Juga
“Bukti itu harus diverifikasi terlebih dahulu. Terlepas dari itu, dalam Peraturan Mahkamah Agung No.4/2016 KPK diberikan wewenang untuk menetapkan kembali sebagai tersangka,” katanya.
Lalola Easter, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam koalisi masyarakat antikorupsi mengatakan pihaknya secara resmi telah mengadukan hakim Cepi Iskandar ke Badan pengawas Mahkamah Agung.
Pihaknya mencatat, setidaknya terdapat tujuh dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Cepi Iskandar seperti memeriksa materi praperadilan yang bertentangan dengan KUHAP, mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyelidik dan penyidik dan mengabaikan alat bukti serta keterangan ahli yang diajukan oleh KPK.
Pihaknya menduga Cepi telah melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim seperti berperilaku adil, berdisiplin tinggi dan bersikap profesional sehingga pihaknya merekomendasikan Badan Pengawas untuk memanggil dan memeriksa Cepi Iskandar atua saksi-saksi yang relevan atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku hakim.
“Kami juga merekomendasikan agar Badan Pengawas Mahkamah Agung menindak tegas Hakim Cepi jika setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan pelanggaran kode etik hakim. Pelaporan ini harus dimaknai sebagai upaya mewujudkan pengadilan yang adil, profesional dan bebas dari KKN,” ujarnya.