Kabar24.com,JAKARTA- Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia menilai Perppu No.2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan bagaikan senjata pemusnah massal terhadap hak politik rakyat.
Yunani Abiyoso, Ketua Departemen Riset dan Kajian Pusat Studi Hukum Tata Negara UI mengatakan perppu itu tidak hanya berimplikasi pada pembubaran organ masyarakat, namun juga berpotensi mengkriminalkan anggotanya baik yang langsung maupun yang tidak langsung melakukan perbuatan yang dilarang dalam auran itu.
Hal itu tertuang dalam Pasal 82A Perppu tersebut yang menyatakan setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat 4 dapat dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang memberikan jaminan kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Bahkan hak menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan juga menjadi salah satu yang dijamin hak konstitusionalnya sejak masa kemerdekaan RI,” paparnya, Sabtu (15/7/2017).
Baca Juga
Pihaknya juga menilai perppu ini membuka peluang Pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dengan membubarkan ormas yang secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan. Hal ini sama artinya dengan kemunduran demokrasi di tanah air, jauh sebelum ide reformasi terpikir oleh mahasiswa.
Atas dasar itu, kami dari Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa Perppu No. 2/2017 bertentangan dengan UUD dan mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Selama 3 tahun perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo, setidaknya telah diterbitkan 4 perppu; yang kebetulan dalam 2 bulan terakhir ini pemerintah telah menerbitkan 2 Perppu, dalam kondisi keamanan dan politik yang tidak genting apalagi memaksa. PSHTN FHUI menilai hal ini menunjukkan indikasi adanya hubungan yang tidak baik antara Presiden dengan DPR dalam proses pembentukan legislasi, karena Presiden terkesan ingin bypass dalam menerbitkan suatu norma undang-undang dengan menggunakan baju Perppu.
“Di dalam pertimbangannya, pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas. Asas itu secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya. Penerapan asas itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham mengenai perbedaan antara izin dan pengesahan,” tuturnya.
Menurutnya, dalam penerbitan izin, memang pemberi izin dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu. Tapi khusus untuk pengesahan, kecuali ada syarat formil yang dapat membatalkan pengesahan tersebut, instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat serta merta mencabutnya apalagi dengan menggunakan tafsir subjektif pemerintah.
Logika yang digunakan pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus tersebut sangat berpotensi juga digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah seperti yayasan dan partai politik.
“Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu tersebut pada masa sidang berikutnya, serta turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI.” tuntutnya.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Kewenangan Presiden dalam membentuk Perppu ini jangan sampai disalahgunakan untuk menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.