Kabar24.com, JAKARTA — Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan penerbitan Perpu No. 2/2017 tentang Ormas secara substantif mengarah pada model kediktatoran gaya baru.
Menurutnya, semangat penerbitan Perpu tersebut dapat kita lihat dari beberapa hal. Misalnya, Perpu itu menghapuskan Pasal 68 UU No. 17 Tahun 2013 yang mengatur ketentuan pembubaran Ormas melalui mekanisme lembaga peradilan.
Begitu juga Pasal 65, yang mewajibkan pemerintah untuk meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA) dalam hal penjatuhan sanksi terhadap Ormas, juga dihapuskan.
“Bahkan spirit persuasif dalam memberikan peringatan terhadap Ormas, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 60, juga sudah ditiadakan,” ujarnya, Rabu (12/7/2017).
Selain itu, Fadli Zon menjelaskan bahwa Perpu tersebut juga tidak lagi mengatur peringatan berjenjang terhadap Ormas yang dinilai melakukan pelanggaran. Padahal, hal tersebut sebelumnya diatur dalam Pasal 62 UU No.17 tahun 2013.
“Artinya, kehadiran Perpu tersebut selain memberikan kewenangan yang semakin tanpa batas kepada pemerintah, juga tidak lagi memiliki semangat untuk melakukan pembinaan terhadap Ormas. Ini kemunduran total dalam demokrasi kita,” katanya.
Fadli Zon juga mempertanyakan ihwal kegentingan dalam Perpu itu. Jika merujuk pada konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perpu, Perpu dikeluarkan dalam suatu kondisi kegentingan yang memaksa.
“Pertanyaannya sekarang, adakah kondisi kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah membutuhkan Perpu? Kegentingan ini harus didefinisikan secara objektif. Tidak bisa parsial,” ujarnya.
Fadli juga memandang Perpu akan memunculkan keresahan baru di tengah masyarakat. Pasalnya peraturan itu sarat dengan ancaman terhadap kebebasan berserikat yang sudah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 dan 28E.
“Perpu ini mengandung semangat yang sangat jauh dari semangat demokrasi,” ujarnya.