Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pilkada, Ahok, dan Konstruksi Kegawatan

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir sampai mengeluarkan pernyataan yang mengajak masyarakat, seusai Pilkada DKI Jakarta, berhenti mengkonstruksi Indonesia berada dalam kegawatan. Ia meminta kita tidak lagi asyik-masyuk membesar-besarkan persoalan.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Kabar24.com, JAKARTA -- Pilkada DKI 2017 telah berakhir, KPU pun telah menetapkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, warga Jakarta akan menyaksikan pergantian pimpinan DKI dari Ahok-Djarot ke Anies-Sandi.

Namun, Pilkada DKI terkesan masih meninggalkan luka dan menyisakan kegawatan tertentu. Entah siapa yang membangun kesan itu, yang jelas kita masih belum merasakan Jakarta yang “plong” setelah hiruk pikuk kemarin dan bergerak menuju Jakarta yang “memberi harapan” kepada semua pihak.

Tak aneh kiranya jika Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir sampai mengeluarkan pernyataan yang mengajak masyarakat, seusai Pilkada DKI Jakarta, berhenti mengkonstruksi Indonesia berada dalam kegawatan. Ia meminta kita tidak lagi asyik-masyuk membesar-besarkan persoalan.

"Mau sampai kapan? Kita sadar terdapat sejumlah masalah lain yang perlu ditangani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," demikian kata Haedar seperti dikuti Antara, Senin (8/5/2017).

Pilkada, Ahok, dan Konstruksi Kegawatan

Suasana Pilkada DKI/Antara-Wahyu Putro A

Pikiran Membentuk Keadaan
Haedar mengingatkan, apa yang ada di pikiran sering membentuk keadaan. Sesuatu yang ringan tetapi dianggap berat akhirnya terasa berat.

Ketika keadaan normal disebut abnormal, suasananya menjadi terasa di luar kewajaran. Masalah sedikit ketika dianggap besar, benar-benar terasa besar. Maka, lanjut Haedar, betapa pentingnya menata atau mengkonstruksi pikiran agar tetap positif.

Ia mensinyalir usai Pilkada DKI yang berjalan demokratis dan damai, ada upaya menggiring kepada pikiran atau pendapat-pendapat yang terasa gawat atau digawat-gawatkan.

Pilkada, Ahok, dan Konstruksi Kegawatan

Karangan bunga untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat
memadati kompleks Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (26/4/2017)./JIBI-Dwi Prasetya

Ada yang menganggap kemenangan Anies-Sand menjadi titik merebaknya radikalisme agama, intoleransi dan ancaman terhadap kebhinekaan, malah sebagian menyebut hasil kontestasi politik itu memicu mekarnya politik primordialisme atau suku, agama, ras dan antargolongan.

Di lain pihak, dia mengatakan ada unsur masyarakat yang menggiring opini Ahok-Djarot yang kalah secara demokratis dan keduanya sebenarnya sudah mengucapkan selamat kepada pemenang, digambarkan mewakili kebhinekaan, toleransi, moderat dan rasionalitas.

Ketika pasangan ini kalah, lalu muncul pandangan peringatan atas ke-Indonesiaan.

Selain itu, kata dia, ada yang berpandangan terdapat ancaman terhadap NKRI karena ada gerakan kelompok Islam radikal dan persoalan kebangsaan lain.

Lalu dimunculkan istilah kawan setia dan paling mendukung NKRI. Sebaliknya, tentu saja ada yang dianggap kurang atau tidak setia serta tidak pro-NKRI.

"Pikiran dan pandangan yang mengesankan situasi gawat seperti itu justru dapat berpotensi menciptakan psikologi kegawatan dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Jika pendapat-pendapat negatif seperti ini terus diproduksi, boleh jadi malah akan terjadi saling berhadapan atau dihadap-hadapkan antardua pihak warga bangsa yang berbeda. Mayoritas versus minoritas, pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain, antara satu etnik dengan etnik lain, antara kelompok radikal satu dengan radikal lain," kata dia.

Berpikir Jernih
Kata Haedar, jika berpikir lebih jernih dan obyektif maka permasalahan yang berkembang masih bisa diatasi dan terus didialogkan untuk dicarikan solusi.

Pilkada DKI memang ada masalah yang berkaitan dengan relasi politik dengan sentimen agama dan etnik, tetapi faktor itu bukanlah satu-satunya karena ada masalah lain yang sejatinya ikut memicu seperti faktor personalitas, kesenjangan sosial dan lain-lain."

Atas fenomena itu, Haedar mengajak masyarakat untuk lebih bijak mengkaji peristiwa secara seksama dan komprehensif agar tidak melahirkan pandangan dangkal yang menimbulkan politisasi dalam beragam bentuk, termasuk dramatisasi situasi.

Dramatisasi itu, kata dia, sering memicu masalah baru dan memperluas masalah kemudian menimbulkan kepanikan maupun kesan suasana gawat yang tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan yang faktual atau apa adanya.

Sidang Ahok

Meminjam penjelasan Ketua Umum PP Muhammadiyah di atas, konstruksi kegawatan juga terkesan muncul dalam menanggapi proses hukup pada kasus dugaan penistaan agama yang menempatkan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai terdakwa.

Jika semua berpikir sederhana dan meletakkan segala penyelesaian pada proses hukum dan hukum pun bisa dipercaya, tentu tak perlu ada konstruksi kegawatan lainnya.

 

Pilkada, Ahok, dan Konstruksi Kegawatan

Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono (kiri) membacakan tuntutan pada sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4)./Antara-Muhammad Adimaja

 

Jaksa penuntut umum telah meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun kepada terdakwa Ahok.

Tindakan Ahok dinilai memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut ketentuan itu, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ahok menjadi terdakwa kasus penistaan agama karena menyebut bahwa ada pihak yang menggunakan Al Quran Surat Al Maidah 51 untuk membohongi saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

Hari ini, 9 Mei 2017 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadwalkan sidang pembacaan putusan.

Namun, jelang pembacaan putusan perkara muncul banyak dugaan juga permintaan.

Muncul dugaan tuntutan jaksa tak ubahnya dagelan, juga muncul dugaan bahwa akan ada sekian banyak massa dan oleh karena itu antisipasi pengamanan pun disiapkan dengan jumlah personel tak sedikit.

Kondisi ini memunculkan kesan bahwa pembacaan vonis menjadi suatu potensi kegawatan baru. Sedikit banyak kesan gawat pun menular di banyak tempat.

Pilkada, Ahok, dan Konstruksi Kegawatan

Ilustrasi/Antara

Tentu kita tak berharap terjadi kondisi gawat terkait vonis Ahok. Lebih penting dari itu sebetulnya kita layak menyayangkan adanya upaya membangun imaji gawat.

Kita tak tahu siapa yang menyiapkan imaji kegawatan tersebut, namun naluri kita sulit untuk tidak mengatakan ada “invisible hand” yang sedang bergerak lincah memainkan “bidak catur”

Banyak pihak berharap dan berpesan kepada majelis hakim supaya dapat memutus perkara Ahok ini dengan bijak dan adil, serta tanpa intervensi dalam bentuk apapun.

Komisi Yudisial (KY) juga berpesan agar majelis hakim yang menangani perkara dugaan penistaan agama tersebut tetap independen dan imparsial dalam menjatuhkan putusan.

"Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin imparsialitas dan keadilan dalam memutus perkara," ujar juru bicara KY Farid Wajdi.

KY mengimbau seluruh pihak supaya menghormati prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis, tegas Farid.

Selain independensi, hakim juga harus memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa, kata Farid.

"Kami memastikan tugas KY mengawal proses sidang ini dilakukan dengan itikad yang baik dan sesuai dengan peran yang diberikan oleh negara," ujarFarid.

Farid mengatakan dalam mengawal proses persidangan untuk kasus ini, KY menggunakan dua metode.

"Kami melakukan pemantauan tertutup atau pemantauan terbuka, penggunaan metodenya sangat bergantung pada penilaian internal tentang urgensi kasus yang dihadapi," kata Farid.

"Fokus KY akan ada pada etika majelis hakim dalam mengelola perkara ini, baik perilaku di dalam sidang maupun perilaku di luar sidang," tutur Farid.

Aksi Simpatik 55
Pada Jumat (5/5), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) menggelar Aksi Simpatik 55 dengan berjalan kaki usai menjalani Shalat Jumat di Masjid Istiqlal menuju gedung Mahkamah Agung (MA).

Perwakilan peserta aksi menemui pimpinan MA dengan tuntutan supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Utara menjaga independensi dalam memutus perkara terdakwa dugaan kasus penodaan agama.

Lima orang pimpinan MA yang menemui dan berdialog dengan 12 orang perwakilan dari Aksi Simpatik 55. Mereka adalah Sekretaris MA Pudjo Harsoyo, Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, Kabiro Pengawasan MA Sunarto, panitera MA Made Rawa Aryawan, dan panitera muda pidana MA Suharto.

Pilkada, Ahok, dan Konstruksi Kegawatan

Ilustrasi: Aksi massa pada sidang kasus dugaan penistaan agama/Antara

Usai bertemu dengan lima pimpinan MA, perwakilan dari massa Aksi Simpatik 55 Kapitra Ampera menjelaskan bahwa dalam dialog dengan lima pimpinan MA tersebut, pihaknya meminta keadilan atas perkara dugaan penistaan agama.

"Kami meminta supaya keadilan ditegakkan, dan mendukung independensi majelis hakim dalam memutus perkara," kata Kapitra.

Kapitra menambahkan aksi simpatik 55 ini merupakan bentuk dukungan massa kepada MA supaya mengedepankan keadilan dan independensi hakim.

"Tidak boleh ada campur tangan penguasa atau pihak manapun dalam bentuk apapun," lanjut Kapitra.

Dari dialog yang dilakukan oleh perwakilan aksi simpatik 55 dengan MA, Kapitra menyebutkan bahwa MA telah menjamin bahwa majelis hakim bebas dari segala bentuk intervensi.

Apa yang dikatakan oleh Kapitra kemudian dibenarkan oleh pihak MA yang diwakilkan oleh panitera MA Made Rawa Aryawan dalam jumpa pers usai dialog dengan 12 orang perwakilan Aksi Simpatik 55.

"Kami berani menjamin majelis hakim akan berlaku adil dan terbebas dari intervensi apapun bentuknya," kata Aryawan.

Harapan Keadilan

Harapan agar hakim berlaku adil dan independen rupanya menjadi poin krusial dalam perkara penistaan agama ini. Jaminan bahwa hakim akan adil dan independen serta penegasan bahwa hakim tak boleh diintervensi mestinya menjadi jawaban dari harapan yang muncul.

Selebihnya, seperti dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, seluruh masyarakat diharapkan menerima apa pun hasil vonis kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Selama proses hukum berjalan secara adil, transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan, maka kita nantikan saja apa yang akan diputuskan majelis hakim dalam vonisnya.

Selebihnya, alangkah lebih baiknya kalau kita semua tak lagi menciptakan kegawatan baru.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper