Bisnis.com, TANGERANG SELATAN - Tujuan dan semangat revisi UU Pemilu yang kini tengah dibahas di DPR terutama untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan sistem presidensial dengan basis dukungan rakyat dan parlemen sesuai amanat konstitusi.
Revisi UU Pemilu tidak hanya melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pemilu Serentak pada 2019, tapi juga mampu menjawab berbagai misi UU Pemilu yang diembannya.
“Dengan sistem presidensial yang kuat dan efektif, presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, tapi juga basis dukungan dari DPR dalam rangka mewujudkan efektifitas pemerintahan,” ungkap Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi pada Kantor Staf Presiden.
Dia mengatakan hal itu dalam diskusi publik bertajuk “RUU Pemilu, Telaah Kritis terhadap Masa Depan Demokrasi Indonesia” yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat, Tanggerang Selatan, Rabu (5/4/2017).
Selain itu, revisi UU Pemilu juga dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat.
“Selebihnya untuk meningkatkan mekanisme pertanggung jawaban yang jelas,” tegas Eko.
Menurutnya, selama empat kali pemilu demokratis pascareformasi, 1999, 2004, 2009 dan 2014, memang telah terjadi konsensus bahwa pemilu satu-satunya mekanisme pergantian kepemimpinan secara regular dan damai yang menandai keberhasilan transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
“Namun tujuan lain yang menjadi misi UU Pemilu belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Misalnya menghasilkan pemerintahan yang kuat, DPR yang efektif, partisipasi yang meningkat dan menciptakan sistem kepartaian yang sederhana,” katanya.
Eko menilai hal itu terjadi karena belum adanya kesesuaian antara tujuan dan misi UU Pemilu dengan amanat UUD 1945.
“Pemilu 2004-2014 malah menghasilkan fenomena parlementarisasi presidensialisme di mana presiden yang terpilih tidak mendapatkan dukungan mayoritas kursi di DPR,” jelasnya.
Hal ini, tuturnya, berakibat pada efektiVitas roda pemerintahan, khususnya kebijakan yang membutuhkan persetujuan atau pengesahan DPR.
Kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 secara mayoritas (53,15%), tapi peta dukungan kursi di DPR hanya kisaran (36,96%). Hampir satu tahun lebih masa pemerintahannya tidak ada satupun RUU yang diajukan pemerintah untuk di bahas di DPR.
“Hal ini normal mengingat pemerintah tidak memiliki dukungan mayoritas di DPR saat itu,” katanya.
Munculnya problem kelembagaan antara Presiden dan DPR hasil pemilu ini karena tidak adanya kesesuaian antara UU Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden.
Eko berpendapat jika revisi UU Pemilu tidak mampu mencegah kembali parlementarisasi presidensialisme, maka hal ini akan memperlemah demokrasi ke depan.
Karena siapapun presiden yang terpilih akan melakukan tindakan semacam ‘kooptasi’ parlemen maupun ‘kooptasi’ nonparlemen dalam upayanya mencapai dukungan signifikan atau mayoritas DPR.