Kabar24.com, JAKARTA - Otoritas Prancis bekerjasama dengan Inggris menyelidiki korupsi Airbus Group SE.
Kasus ini dipicu tuduhan praktik kecurangan terkait penjualan pesawat dan pengaturan pembiayaan pesawat.
Pihak Airbus menyatakan, penyelidikan oleh Parquet National Financier mengikuti langkah-langkah dari Serious Fraud Office Inggris pada Agustus untuk melihat lebih dalam kemungkinan adanya penyuapan dan korupsi dalam bisnis penerbangan sipil Airbus terkait dengan konsultan pihak ketiga.
Nantinya, kedua pihak berwenang akan berkoordinasi satu sama lain. Airbus mengharapkan penangguhan pembiayaan dipulihkan.
Investigasi yang bisa berlangsung beratahun-tahun menambah tantangan perusahaan yang berbasis di Tolouse Prancis itu untuk memperluas usahanya di luar negeri.
Hasil investigasi yang buruk juga bisa merusak reputasi dan menyebabkan denda yang signifikan. Pada tahun lalu, penyelidikan internal menemukan salah urus dan kelalaian Airbus dengan regulator Inggris dan Agensi Kredit Ekspor Eropa yang melibatkan kontraktor luar dalam beberapa pembiayaan ekspor.
Baca Juga
Lembaga kredit termasuk U.K. Export Finance menangguhkan beberapa pembiayaan untuk membantu penjual pesawat komersial.
Kegagalan Airbus mengungkapkan penggunaan pihak ketiga adalah salah satu faktor penyelidikan Inggris ini. Lembaga kredit Inggris memberi pembiayaan untuk penjualan perusahaan luar negeri.
Airbus mengembangkan sayapnya di Inggris dan merakit pesawat di negara lain termasuk Prancis dan Jerman. Kendati demikian, Airbus rupanya bukan satu-satunya perusahaan yang tersandung kasus saat mencoba berekspansi di Timur Tengah, Asia, dan daerah yang tumbuh cepat lainnya.
Perusahaan sering menggunakan perantara dengan koneksi lokal untuk membantu mereka di pasar baru. Seperti diketahui, butuh waktu tahunan bagi perusahaan untuk mendirikan kantor lokal. Praktik tersebut tidak ilegal, tetapi dapat mempersulit pengawasan.
Produsen mesin jet Rolls-Royce Holdings Plc sedang diselidiki selama bertahun-tahun setelah mengakui kemungkinan korupsi terkait penggunaan konsultan asing. Pada Januari 2017, perusahaan setuju membayar 800 juta dolar AS untuk menyelesaikan penyelidikan dan mengaku membayar suap untuk memenangkan kontrak di negara-negara seperti Thailand, Angola, dan Irak.